REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peredaran daging sapi yang dioplos dengan daging celeng bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Tingginya harga daging sapi saat ini dikawatirkan mendorong oknum nakal untuk berbuat curang, terutama untuk mrngoplos daging sapi dengan daging celeng dan daging lainnya.
Untuk itu, kehadiran pemerintah sangat dibutuhkan. “Kalau memang mau blusukan, blusukan lah yang benar. Cek laporan dari masyarakat dimana mereka menemukan daging oplosan,” kata pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar kepada ROL, Selasa (11/8).
Masyarakat sebagai pembayar pajak sudah sepatutnya mendapat perlindungan dari pemerintah. Pelaku pengoplosan, kata Hermanto, bukan berasal dari kalangan pedagang atau peternak. “Pedagang hanya menjual. Pelakunya biasanya ada di antara peternak dan pedagang. Ini yang harus ditelusuri,” ucapnya.
Dalam kondisi harga daging mahal, ia mengimbau masyarakat menunda keinginan membeli daging sapi. Pasalnya, harga daging sapi yang berkisar Rp 140 ribu hingga Rp 160 ribu akan makin melambung jika permintaan masyarakat terhadap daging sapi tetap tinggi. “Cari alternatif sumber protein lain seperti ikan atau telur.”
Apabila masyarakat kompak melakukan ini, Hermanto optimistis harga daging sapi akan stabil. Jika harga daging sapi kembali normal, maka tidak akan ada oknum nakal yang mengoplosnya. Tidak perlu lama-lama, cukup satu pekan saja masyarakat diajak ‘berpuasa’ daging sapi. “Setelah itu paling harganya bisa terkoreksi,” kata dia. Aktivitas ini sembari menunggu usaha pemerintah.
Soal nasib pedagang bakso yang mengandalkan daging sapi sebagai bahan utama bisnisnya, Hermanto menyarankan, pedagang bakso memutar otak agar bisnisnya bisa berjalan di tengah polemik ini. “Mungkin dengan mengubah ukuran baksonya menjadi kecil atau mungkin memperbanyak tepung pada baksonya untuk mrngurangi penggunaan daging sapi,” ujarnya.