REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Presiden Mesir Abdel Fattah el Sisi mensahkan Undang-Undang anti terorisme baru yang kontroversial, Senin (17/8). UU tersebut memberi perlindungan untuk pihak otoritas seperti militer dan polisi dari konsekuensi hukum ketika melaksanakan tugasnya.
UU juga merinci hukuman bagi beragam kejahatan kriminal dan terorisme mulai dari penjara selama lima tahun hingga hukuman mati. Memberitakan informasi yang salah dan meleset termasuk dalam kejahatan terorisme.
Menurut surat kabar resmi pemerintah, UU tersebut menetapkan denda minimal 200 ribu pound (sekitar 25 ribu dolar AS) dan maksimum 500 ribu pound bagi surat kabat yang menyebar laporan menyimpang. Hukuman penjara disiapkan bagi mereka yang terbukti menghasut, berencana menghasut, secara langsung atau tidak melakukan aksi terorisme.
Para pengamat menilai UU baru tersebut bukan untuk melindungi masyarakat tapi untuk melindungi pemerintah. Denda-denda yang disebutkan akan membuat surat kabar kecil bangkrut dan mencegah surat kabar besar berlaku independen.
Mereka akan ragu melaporkan setiap operasi atau serangan terhadap pihak oposisi pemerintah. Membentuk dan memimpin kelompok yang dianggap bermuatan aksi terorisme akan diganjar dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Sementara mereka yang menjadi anggota kelompok teror akan menghadapi hukuman penjara selama 10 tahun. Mendanai kelompok teror akan dihukum penjara seumur hidup. Mendukung ide seruan kekerasan, termasuk membuat situs bermuatan hal serupa akan dihukum penjara antara lima hingga tujuh tahun.
Jurnalis akan didenda jika menentang aksi terorisme versi pihak otoritas. Kasus ini telah memiliki contoh. Tiga jurnalis telah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena dinilai 'memfitnah' pemerintah dan mendukung gerakan kelompok Ikhwanul Muslimin.
Dalam draft original, kejahatan jurnalis semacam ini diganjar dengan penjara seumur hidup. Namun setelah mendapat protes dari kalangan domestik dan internasional, draft diamandemen. Asisten profesor di Long Island University dan anggota Egyptian Rule of Law Assosiation, Dalia Fahmy mengatakan pada Aljazirah bahwa media yang menentang berita pemerintah juga akan didenda.
"Ini indikasi bahwa konsolidasi kekuatan ada di tangan penguasa eksekutif," kata Fahmy.
Dilansir dari BBC, pekan lalu kelompok Amnesty Internasional memperingatkan bahwa UU tersebut akan mengekang hak kebebasan berekspresi, berasosiasi dan bermajelis biar pun dilakukan secara damai.