REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Myanmar memperbarui keadaan darurat di kawasan berkecamuk di utara yang berbatasan dengan Cina, kata media pemerintah, Rabu (19/8).
Myanmar memperpanjang pemantauan militer atas kawasan tersebut dalam pemilihan umum November. Pertempuran tentara dengan pemberontak suku Cina meletus pada Februari di wilayah Kokang, provinsi Shan. Pertempuran itu menyebabkan ribuan warga mengungsi dan membuat Cina marah ketika angkatan udara Myanmar menjatuhkan bom di wilayah Cina dan menewaskan beberapa penduduk.
"Kokang belum bisa kembali normal dalam hal pemerintahan, perdamaian dan ketenangan serta penegakan hukum", kata laporan harian New Light of Myanmar.
Laporan itu menyebutkan darurat militer tersebut yang dimulai pada pertengahan Februari dan berakhir pada Senin diperpanjang hingga 17 November atas perintah kantor kepresidenan.
Kawasan itu akan tetap berada di bawah pengendalian langsung militer selama pemilu pada 8 November. Perang saudara sporadis melanda Myanmar selama sekitar tujuh dasawarsa ketika milisi berjuang untuk mendapatkan otonomi lebih besar di kawasan perbatasan yang kaya sumber daya namun terpecah belah berdasarkan atas suku.
Pertempuran semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, meskipun sudah ada upaya rezim semisipil untuk mencapai gencatan senjata nasional. Pertempuran terutama terjadi di kawasan utara provinsi Kachin dan Shan yang menyebabkan puluhan ribu warga mengungsi.
Pembicaraan damai yang dilakukan sebelumnya pada Agustus menggarisbawahi kerangka kerja untuk kesepakatan bersejarah, namun perundingan terhalang pada masalah kelompok pemberontak yang akan menandatanganinya.
Pengamat mengatakan pemerintah telah menolak seruan dari koalisi pasukan etnis untuk memasukkan Tentara Koalisi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) Kokang dalam kesepakatan gencatan senjata nasional, bersama dengan sekutu dalam pertempuran Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA).