REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 150 komunitas anti rokok yang tergabung dalam gerakan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yakin petisi FCTC mampu menaikan perekonomian Indonesia.
Koordinator komunitas Smoke Free Agents, Yuki Wirabagja mengatakan lebih dari 50 persen tembakau di impor untuk diolah menjadi rokok di Indonesia. Sedangkan tembakau di Indonesia tidak begitu banyak diolah. Bahkan hanya dibeli murah oleh perusahaan-perusahaan rokok.
Ia mencontohkan di Nusa Tenggara, tembakau petani hanya dibeli oleh dua perusahaan dengan harga murah. Akhirnya, muncul kasus petani yang membakar dirinya bersama ladang tembakaunya. Hal ini membuktikan, bahwa Indonesia masih memproduksi rokok dengan bahan baku luar.
"Kalau tembakau luar dihentikan atau dinaikan cukainya. Produksi tembakau di Indonesia akan naik dan pendapatan Indonesia akan bertambah," ujar dia kepada Republika, Ahad (23/8).
Yuki melanjutkan, selain diolah menjadi rokok. Tembakau menurutnya bisa diolah menjadi bahan lain. Ia menyebutkan salah satu penelitian menunjukan tembakau bisa diolah menjadi bahan pendukung pembuatan nasi goreng. Namun kata dia, perlu kerja sama dengan perusahaan-perusahaan rokok untuk mengolah tembakau dengan baik.
Sebanyak 170 orang yang terdiri dari anak-anak ini melakukan aksi di depan istana Presiden, Ahad (23/8). Anak-anak bersama komunitas anti rokok tersebut menghimbau presiden Joko Widodo ikut menandatangani petisi FCTC.
Dengan menandatangani petisi tersebut, Koordinator acara Yuki berharap, Presiden juga dapat menerapkan petisi tersebut dalam bentuk peraturan. Sehingga, peran pemerintah melindungi anak dari dampak rokok lebih intens dan aktif.
"Kita menghimbau presiden menandatangani petisi tersebut. Kemudian, mengaplikasikannya dalam bentuk Keputusan Presiden atau lainnya," kata Yuki berharap.