REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menjamurnya sampah visual di Kota Yogyakarta secara perlahan namun pasti dapat mengurangi daya tarik kota itu sebagai kota pariwisata, pendidikan, dan budaya, kata seorang pakar.
"Apabila tidak ada pengendalian serius, teror visual akan efektif mengurangi daya tarik Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata, pendidikan, dan budaya," kata pakar Komunikasi Visual Istitus Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Sumbo Tinarbuko dalam diskusi "Urgensi Pengaturan Tanah kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman beserta pemanfaatan Tata Ruang Wilayah di DIY" di Kantor Dinas Kebudayaan DIY, Selasa (1/9).
Menurut Sumbo, persoalan sampah visual berupa iklan luar ruang seperti rontek, spanduk, umbul, serta reklame di Yogyakarta seharusnya sudah selesai sejak dibuat Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 tentang penyelenggaraan reklame.
"Seharusnya Perda itu bisa memecah persoalan sampah visual, namun hingga saat ini Perda masih sebatas disosialisasikan," kata Sumbo yang juga aktivis komunitas gerakan Reresik Sampah Visual ini.
Keberadaan sampah visual dalam berbagai bentuk iklan luar ruang, menurut dia, untuk saat ini bahkan sudah mulai menyerang bangunan-bangunan warisan budaya di Yogyakarta yang seharusnya benar-benar dijaga.
Padahal, ia mengatakan, pemasangan iklan luar ruang dengan tanpa memerhatikan estetika lingkungan justru akan memunculkan kesan bahwa Yogyakarta tidak lagi ramah dan toleran sebagai kota budaya.
Lebih dari itu, ia mengatakan, persoalan iklan luar ruang juga dapat mengurangi nilai keistimewaan Yogyakarta. Sebab, menurut dia, nilai keistimewaan sejatinya berkorelasi dengan terwujudnya ruang publik yang bebas dari teror visual.
Oleh sebab itu, Sumbo berharap penanganan sampah visual dapat menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Kota Yogyakarta tanpa mempersoalkan target pendapatan asli daerah (PAD) yang mengandalkan pajak iklan luar ruang tersebut."Jangan sampai penertiban kembali terkendala karena PAD yang diperoleh besar," kata dia.