REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi menolak keberatan yang diajukan oleh mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Dalam eksepsi yang dibacakannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada pekan lalu, SDA membantah telah mengambil keuntungan dari penyelewengan dana haji.
Dalam sidang lanjutan kasus haji, JPU KPK memberikan pernyataan mengenai keberatan soal kasus haji yang menimpa SDA. Jaksa Mochamad Wiraksajaya mengatakan tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dinilai dari uang yang diterima terdakwa.
"Korupsi bukan hanya berarti memperkaya diri sendiri, tapi juga kerabat dan orang lain," kata Wiraksajaya di Pengadilan Tipikor, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (14/9).
Dalam dakwaan penuntut umum, Suryadharma dituding menerima Rp 1,8 miliar dari penyelenggaraan haji. SDA juga dituding menerima selembar kiswah yakni potongan kain penutup Ka’bah, dari seorang pengusaha.
Namun, dalam eksepsinya, SDA menilai kain kiswah itu tak ada artinya dan dapat dibeli di toko kaki lima. Menanggapi keberatan SDA, jaksa menegaskan, keuntungan dari tindak pidana korupsi tidak selalu diukur dari uang.
"Benda mahal bukan hanya karena nilai intrinsiknya, tapi juga historis dan spiritualitasnya," ujar Wiraksajaya.
Sebelumnya, SDA diduga mendapatkan kain itu dari politikus Partai Persatuan Pembangunan, Mukhlisin, dan seorang pengusaha bernama Cholid Abdul Latief setelah menyelenggarakan haji pada 2010. Mukhlisin dan Cholid memberikan kiswah karena Surya membantu mereka memakelari penyewaan rumah selama musim haji.
Padahal pemondokan yang ditawarkan keduanya tak masuk persyaratan karena berharga sewa tinggi, bahkan tarifnya melampaui plafon yang ditetapkan pemerintah. Negara membayar lebih mahal hingga 2,4 juta riyal. Uang kelebihan itu kemudian dibagi ke beberapa orang.
Jaksa menduga keuangan negara rugi hingga Rp 27 miliar dan 17,9 juta riyal akibat perbuatan Surya. Angka itu didapat dari dua laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tertanggal 5 Agustus 2015.