REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Seksi Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Burhan mengatakan pembalakan liar marak terjadi berada di empat titik kawasan hutan. Yaitu, di Gunung Tambora, Gunung Rinjani, kawasan hutan Labangka dan di perbatasan Dompu-Sumbawa kawasan Mata.
"Pembalakan masif ada empat titik, di pulau Sumbawa ada di Gunung Tambora, Labangka, Mata dan Gunung Rinjani," ujarnya di Kota Mataram, Kamis (17/9).
Ia menjelaskan, modus pembalakan liar yang dilakukan masyarakat di Gunung Tambora adalah menggunakan izin usaha pemanfaatan alam. Termasuk modus di Labangka dan Mata. Sementara itu, di Gunung Rinjani relatif pembalakan liar dilakukan secara sporadik namun rutin.
Menurutnya, kerusakan di Labangka mencapai 1000 hektar termasuk di Gunung Tambora dan Mata dan di Rinjani mencapai 100 hektar. Oleh karena itu, Polhut terus melakukan patroli dan penegakan hukum.
"Semua modus pembalakan liar adalah dengan menyebutkan kayu berasal dari hutan rakyat," ucapnya.
Burhan mengatakan pembalakan liar masih terjadi di kawasan hutan disebabkan peraturan yang tidak ketat sehingga memudahkan masyarakat menerbitkan dokumen-dokumen untuk mengangkut kayu. Kewenangan pengawasan kehutanan yang tengah dialihkan ke provinsi pun menjadi ruang terbuka bagi masyarakat melakukan pembalakan.
Tidak hanya itu, ia menuturkan, sumberdaya personil polhut NTB yang hanya berjumlah sembilan orang menyebabkan penegakan hukum bagi pembalak liar berjalan lamban. Begitu pula anggaran yang hanya Rp 200 juta dari APBD tidak berimbang untuk pengamanan kawasan hutan yang mencapai 1 juta hektar lebih.
"Sumber daya personil hanya 9 orang, total polhut se NTB mencapai 125 orang tapi masa transisi peralihan kewenangan menyebabkan pengamanan maju mundur. Anggaran dari APBD untuk pengamanan hanya Rp 200 juta dengan kawasan hutan 1 juta lebih maka rendah operasional untuk tiap pengamanan," jelasnya.
Keberadaan sarana dan prasarana pengamanan pun terbilang minim. Menurutnya, saat ini polhut NTB hanya memiliki satu kendaraan yang berasal dari pinjaman kementerian. Oleh karena diperlukan perbaikan regulasi.