REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyebaran paham radikal rentan menyasar para pemuda yang masih mencari jati diri dan serba ingin tahu.
"Penyebab radikal itu bukan single factor, kalau kita di sini ada 50 orang, kemudian ditanya tentang definisi teroris, maka bisa lahir 100 definisi," kata Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof. Irfan Idris pada acara peluncuran buku "Islam dan Terorisme: Antara Imajinasi dan Kenyataan" di UI Salemba, Jakarta, Selasa (29/9).
Ia menjelaskan hal itu berdasarkan realitas dan peristiwa. Sehingga, tambahnya, asumsi kelompok terorisme melakukan pendekatan melalui jalur keagamaan justru keliru. Justru penyebaran pemahaman radikal, dinilainya paling mudah ditemui melalui dunia internet.
“Internet menjadi ajang pembelajaran tingkat rendah. Mereka memahami bahwa syariat harus ditegakkan, tanpa mempedulikan tindakan apa yang digunakan,” katanya.
Irfan menjelaskan, jihad yang diagung-agungkan oleh pelaku teroris sesungguhnya sudah keluar dari jalur. Mereka hanya menilai bahwa melakukan teror atas nama Islam merupakan bentuk jihad. Padahal perilaku jihad bisa bermakana luas dalam konteks masa sekarang.
"Maka, kita perlu melakukan pendekatan kemitraan, pendekatan kekeluargaan, pendekataan pengetahuan untuk memberikan pembinaan pemahaman pada para pemuda," ujarnya.