REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Imbauan Jaksa Agung untuk memerintahkan kejaksaan negeri menunda sementara kasus hukum calon kepala daerah maupun calon wakil kepala daerah sampai Pilkada serentak selesai, justru dinilai merugikan masyarakat.
Hal ini lantaran penundaan proses hukum ini dianggap memberikan ruang lebih kepada calon bermasalah untuk ikut serta dalam Pilkada.
"Kalau memang diusutnya setelah mereka (calon) terpilih, tentu yang dirugikan itu masyarakat di sana," ujar Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Arie Muhammad Haikal di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (30/9).
Menurut dia, jika proses dilakukan pascapilkada, dikhawatirkan calon yang bermasalah tersebut justru memenangi Pilkada. Tentu, ini akan berimplikasi dengan dibatalkannya calon terpilih tersebut.
Oleh karena itu kata Haikal, jika memang kasus hukum yang menjerat calon tersebut kuat dan bisa dilakukan segera, maka semestinya penegak hukum dapat memprosesnya segera. "Harusnya memang sebelum Pilkada selesai ini bisa diketahui, sehingga bisa dieksekusi KPU," ujarnya.
Dikatakan dia, solusi lain agar calon bermasalah hukum tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari, maka perlu publikasi kepada masyarakat untuk calon yang memang tersangkut kasus hukum tersebut. "Agar masyarakat juga mengetahui calon ini bermasalah hukum, sehingga ia bisa melihat calon ini layak atau tidak," ungkapnya.
Sebelumnya juga, KoDe inisitif melakukan penelitian terhadap bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersangkut kasus hukum berdasarkan metode penelusuran pemberitaan media.
Hasilnya, satu satu persatu penelusuran kepada bakal calon yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) seperti dikutip laman http://www.kodeinisiatif.org/ diketahui ada 188 total dugaan kasus hukum bagi calon kepala daerah dan 59 kasus untuk wakil kepala daerah, yang dugaan kasus pelibatannya baik sekadar isu, saksi, terlapor, tersangka, terdakwa, hingga terpidana di dugaan kasus korupsi, kasus perdata hingga kasus pidana.