Senin 05 Oct 2015 14:20 WIB

IPOP Setop Pembelian Sawit dari Perusahaan Perusak Lingkungan

Rep: Sonia Fitri/ Red: Nidia Zuraya
Kelapa sawit
Kelapa sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan anggota yang menyepakati Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP) alias menjaga hutan nol deforestasi sepakat menghentikan pembelian sawit dari perusahaan menengah yang "nakal". Maksudnya, perusahaan menengah yang menjadi mitra tidak menerapkan prinsip nol deforestasi bahkan sembarangan menebang hutan atau menanam di lahan gambut.

"Tapi tetap penghentian pembelian dilakukan setelah perusahaan melakukan dialog hingga lima kali, kita juga tidak semena-mena," kata Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement, Golden Agri Resources Agus Purnomo, di Jakarta, Senin (5/10).

Perusahaan anggota IPOP, lanjut dia, terlebih dahulu melakukan klarifikasi terhadap perusahaan menengah yang menjadi mitra sembari menegaskan jangan menambahahkan deforestasi. Tapi dalam praktiknya, ada saja perusahaan yang membandel. Perusahaan tersebutlah yang diputus kerja samanya. Sikap tegas tersebut tidak lain dalam rangka berkomitmen terhadap ikrar IPOP.

Pascapemutusan kerja sama, beragam tuduhan berdatangan ke anggota IPOP. Di antaranya, perusahaan dituduh melakukan monopoli. Bahkan, anggota IPOP dilaporkan ke pemerintah karena membuat petani dari kalangan masyarakat kesulitan menjual sawit.

"Kami tegaskan, perusahaan tidak pernah menghentikan pembelian dari petani kecil dan swadaya, yang ada yakni menghentikan pembelian kepada perusahaan menengah yang nakal," tuturnya. Ia bahkan curiga para perusahaan menengah tersebut beroperasi dengan dana asing.

Penghentian kerja sama dengan perusahaan menengah "nakal" dilakukan sejak akhir September 2015, dan melibatkan sekitar enam perusahaan. Otomatis, perusahaan kehilangan pasokan dengan total 200 ribu ton tandan buah segar (TBS). Tentu hal tersebut mengganggu produksi dan pendapatan meskipun perusahaan Smart dan GAR mampu menyediakan pasokan bahan baku sawit dari perkebunan milik sendiri, yakni 93 persen. Sisanya, 7 persen diperoleh dari petani independen.

Gangguan, lanjut dia, terjadi di pembuatan produk olahan lain dari sawit. Di mana, perusahaan membeli dari luar atau mitra, yakni sebanyak 85 persen. Perusahaan tersebut telah terdeteksi sumber sawitnya bukan dari hasil merambah hutan maupun lahan gambut. "Sisanya masih kita telusuri, Desember 2015 kita pastikan 100 persen sumber sawit kita jelas penelusurannya dan dapat dipercaya," ujarnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement