Kamis 02 Jan 2025 13:56 WIB

Sawit Watch: Perluasan Sawit Berpotensi Tingkatkan Konflik Sosial dan Kerusakan Lingkungan

Luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 16,8 juta hektare

Rep: Lintar Satria/ Red: Intan Pratiwi
Petani memanen buah sawit di kebunnya di Desa Tibo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Ahad (10/9/2023). Menurut petani harga buah sawit di daerah tersebut naik dari Rp1000 per kilogram menjadi Rp1200 per kilogram.
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Petani memanen buah sawit di kebunnya di Desa Tibo, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Ahad (10/9/2023). Menurut petani harga buah sawit di daerah tersebut naik dari Rp1000 per kilogram menjadi Rp1200 per kilogram.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, menyatakan kekhawatirannya terhadap rencana Presiden Prabowo Subianto terkait perluasan lahan perkebunan sawit di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memicu tiga dampak negatif utama: meningkatnya konflik sosial, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan konflik agraria.

"Jika perluasan perkebunan sawit terus dilakukan, kami khawatir konflik sosial, pelanggaran HAM, dan konflik agraria akan meningkat. Hingga kini, belum ada mekanisme efektif untuk menangani kasus-kasus agraria di perkebunan sawit," ujar Achmad dalam wawancara dengan Republika, Kamis (2/1/2024).

Achmad memaparkan bahwa saat ini luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 16,8 juta hektare berdasarkan data resmi pemerintah. Namun, data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) menunjukkan angka yang lebih besar, yakni sekitar 17,3 juta hektare.

"Kami menemukan adanya kesenjangan antara batas daya dukung lingkungan dan luas lahan sawit yang ada. Jika perluasan terus dilakukan, bencana ekologis seperti banjir dan gagal panen akan semakin sering terjadi," jelasnya.

Sebagai solusi, Achmad menyarankan agar pemerintah mempermanenkan moratorium sawit dan fokus pada program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Menurutnya, peningkatan produktivitas bisa dicapai melalui intensifikasi tanpa harus membuka lahan baru.

"Jika pemerintah konsisten dengan kebijakan yang ada dan memperkuat PSR, kita bisa meningkatkan hasil sawit secara signifikan tanpa merusak lingkungan," tegas Achmad.

Ia juga menyoroti rendahnya produktivitas sawit akibat masalah distribusi pupuk. "Masalah pupuk menjadi keluhan utama para petani. Ketika mereka membutuhkan pupuk, harganya mahal atau stoknya kosong. Padahal, prinsip pemupukan yang baik adalah 3T: Tepat Dosis, Tepat Waktu, dan Tepat Sasaran," tambahnya.

Achmad menekankan pentingnya melindungi wilayah gambut dari konversi menjadi perkebunan sawit. Ia menyebutkan bahwa produktivitas lahan gambut sangat rendah dan biaya produksinya jauh lebih tinggi dibandingkan lahan mineral.

"Konversi lahan gambut hanya akan menambah masalah baru. Pemerintah harus memastikan praktik pertanian yang baik diterapkan di seluruh lahan perkebunan sawit," katanya.

Sawit Watch telah melakukan riset terkait skenario pengembangan perkebunan sawit hingga 2045. Hasil riset menunjukkan bahwa skenario terbaik adalah kombinasi antara penundaan perizinan dan peningkatan intensifikasi melalui PSR.

"Kami menemukan bahwa skenario ketiga, yaitu penundaan perizinan secara permanen yang dibarengi dengan intensifikasi, adalah yang paling menguntungkan secara ekonomi dan lingkungan hingga 2045," tutup Achmad.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement