REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ambruknya Kekaisaran Romawi pada abad kelima membuat kemajuan peradaban manusia seakan-akan berhenti. Barulah pada abad ketujuh, peradaban lain dengan proporsi yang sama tumbuh di kawasan yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya, yakni Jazirah Arab.
Ini menandai masa transisi bagi dunia karena Islam berkembang di luar batas-batas etnis Arab. Seiring meluasnya Islam, orang-orang Arab mengenal berbagai macam buah-buahan dan sayuran yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Transplantasi (pencangkokan) beragam tanaman dan pohon buah-buahan di iklim yang berbeda menjadi tantangan yang memotivasi terjadinya revolusi pertanian Islam.
Butuh keterampilan dari para ilmuwan pertanian Muslim untuk memenuhi tantangan transplantasi tanaman ini. Budidaya tanaman itu menjangkau Mesir, Suriah, Afrika Utara, bahkan Spanyol dan Sisilia.
Pada saat yang sama, para dokter Muslim mengeksploitasi ketersediaan tumbuhan dan rempah-rempah yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka memutuskan apa yang harus dimakan dan kapan harus memakannya.
Dalam domain Islam, seni kuliner tidak berkembang secara acak. Sebaliknya, itu adalah sebuah seni dalam dirinya sendiri yang didasarkan pada penelitian medis secara menyeluruh dan saran ahli gizi. Bahan-bahan yang dipilih untuk membuat makanan biasanya dipilih yang memiliki khasiat terapi atau yang mampu memperkuat tubuh untuk melawan penyakit dan memperlambat proses penuaan.
Karena jumlah resep masalah terus meningkat, para penulis mulai menyusunnya ke dalam buku. Beberapa buku masakan Muslim paling terkenal, antara lain, Fadhalât al-Khiwân fi Atayyibat at-Ta'âm wa-'l-'alwan karangan Muslim Spanyol, Ibnu Razin Attujîbî pada abad ke-12 dan Wasla 'l-habib fi Wasf al-Tayyibât wa-t-tibb karangan Ibn 'Adim pada abad ke-13 di Suriah.
Sumber: Pusat Data Republika/Ani Nursalikah