REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) sebesar 7,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG), Kamis (15/10). Meski demikian, BI menyatakan adanya ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter karena meredanya tekanan terhadap stabilitas makro.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Juda Agung mengatakan, dalam RDG, assesment Dewan Gubernur menunjukkan risiko stabilitas ekonomi makro sudah mulai mereda. Dia menyebutkan ada tiga indikator dari assesment tersebut.
Indikator pertama, inflasi. Bank Indonesia memperkirakan inflasi di akhir 2015 akan berada di bawah titik tengah empat persen. Berdasarkan hasil survei, mengindikasikan akan kembali terjadi deflasi pada Oktober 2015. Sehingga, pada akhir tahun akan lebih rendah dari empat persen.
"Inilah faktor utama yang menjadi pertimbangan mengapa kami mengatakan risiko stabilitas makro mereda," kata Juda dalam konferensi pers di kantor pusat Bank Indonesia Jakarta, Kamis (15/10).
Indeks Harga konsumen (IHK) mengalami deflasi pada September 2015, sehingga inflasi IHK Januari-September 2015 tercatat cukup rendah. IHK mengalami deflasi sebesar 0,05 persen (mtm) atau secara tahunan mencatat inflasi sebesar 6,83 persen (yoy), terutama bersumber dari deflasi pada kelompok volatile food dan administered prices. Dengan demikian, inflasi IHK selama Januari-September 2015 tercatat cukup rendah, yaitu sebesar 2,24 persen (ytd). Perkembangan tersebut dinilai menunjukkan stabilitas harga terkendali.
Faktor kedua yakni transaksi berjalan yang diperkirakan defisitnya sekitar dua persen dari PDB. Sebelumnya, Bank Indonesia memprediksikan defisit transaksi berjalan di kisaran 2,2 persen-2,3 persen.
Faktor ketiga, dengan adanya kemungkinan penundaan normalisasi kebijakan the Fed, aliran modal masuk (inflow) terus mengalami perbaikan. Hingga awal Oktober, inflow portofolio mengalami kenaikan, sebesar 249 juta dolar AS, dari yang September mengalami net outflow menjadi net inflow pada Oktober. Inflow tersebut paling banyak di saham sebesar 174 juta dolar AS, sedangkan surat utang negara (SUN) sebesar 75 juta dolar AS. Hal itu memberikan dampak positif bagi suplai dan demand valas domestik.
"Dengan adanya penguatan nilai tukar rupiah, pemegang dolar AS atau importir sudah mulai melepas. Sehingga suplai dan demand mulai berimbang. Bahkan, di asingnya sudah mulai positif. Ini yang menyebabkan mengapa pasar saham membaik, IHSG membaik, yield membaik, nilai tukar membaik," terangnya.
Selain itu, faktor-faktor domestik berperan di dalam menjaga kepercayaan pelaku pasar terkait prospek ekonomi ke depan. Paket-paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, BI, dan OJK dinilai sudah berkontribusi dalam menjaga konfidence pelaku pasar.
Ke depan, jika Bank Indonesia melihat faktor ataupun risiko makro ekonomi terus terjaga, atau di bawah, maka ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter akan semakin terbuka. Indikatornya seperti inflasi rendah, neraca transaksi berjalan terjaga, dan kondisi global ada kepastian. Bank Indonesia akan memonitor secara berkelanjutan terutama faktor global adanya risk on dan risk off. Begitu ada ruang yang lebih besar, lanjutnya, BI akan segera menyesuaikan.
"Tidak menutup kemungkinan BI Rate akan turun. Tapi tentu saja faktor-faktor ini akan dievaluasi setiap bulan di dalam RDG," ujarnya.