Rabu 21 Oct 2015 13:07 WIB

Begini Keabsahan Hukum Anak Hasil Nikah Siri

Rep: Hannan Putra/ Red: Indah Wulandari
Nikah Siri (Ilustrasi)
Foto: kioshukumonline.blogspot.com
Nikah Siri (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Imam Masjid Istiqlal Jakarta Dr KH Ali Mustafa Ya'qub berharap negara mengakui secara sah anak dari nikah siri.

Bisa jadi karena faktor ekonomi, sepasang pengantin tidak mampu membayar biaya penghulu dari kantor urusan agama (KUA). Akibatnya mereka memutuskan untuk nikah siri.

 

Menurut Ali Mustafa, pernikahan yang sangat sakral dan menjadi syariat menjalankan agama harus dilindungi negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 29.

“Tak boleh ada intervensi negara dalam menjalankan syariat agama, termasuk dalam urusan pernikahan. Jika agama sudah menyatakan sah, berarti mau tak mau negara juga harus menyatakan sah,” tegasnya, beberapa waktu lalu.

 

Tidak hanya di mata hukum, dalam tatanan sosial masyarakat, anak yang dicap di luar nikah mempunyai kedudukan inferior atau lebih rendah dan buruk dibanding anak yang sah.

Anak yang sah, ujarnya, pada azasnya berada di bawah kekuasaan orang tua. Sedangkan yang dicap tidak sah tentu berada di bawah perwalian. Hal ini juga berlanjut pada warisan dan hak-hak anak lainnya.

 

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, anak yang lahir dari kawin siri secara hukum negara masih dipandang tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Persis sama hukumnya dengan anak di luar nikah.

Akte kelahiran, misalnya, masih ditemui kasus akte kelahiran anak dari nikah siri yang tak mencantumkan nama ayah. Seperti diatur dalam Pasal 55 ayat 2 huruf A Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi  Kependudukan.

 

Permasalahan ini baru menjadi terang ketika dikoreksi Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan.

MK menyatakan, anak yang lahir di luar perkawinan mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Selain itu, konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara ayah dan anak secara hukum juga berakibat anak di luar nikah tidak mendapat warisan dari ayah biologisnya.

 

MK berpendapat, ketentuan Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan ini disimpulkan, pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan.

Pencatatan hanya kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Kewajiban administrasi ini dalam rangka memenuhi fungsi negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak azasi manusia yang bersangkutan.

 

Disamping itu, dengan adanya pencatatan secara administratif oleh negara dimaksudkan agar perkawinan menjadi perbuatan hukum yang berimplikasi luas. Pada kemudian hari, perkawinan itu dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik.

 

MK bahkan menyatakan Pasal 43 ayat 1 ini telah bertentangan dengan UUD 1945. Judicial Review pasal tersebut menjadi, "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."

 

Tahun 2013 lalu, Mendagri saat itu Gamawan Fauzi telah memberikan pengakuan kepada anak hasil nikah siri sebagai anak yang sah secara undang-undang.

Anak hasil nikah siri secara teknis sudah mendapatkan haknya sebagai anak-anak dari pernikahan sah lainnya. Soal akta kelahiran, misalkan. Si anak bisa mendapatkannya setelah melalui isbat atas pernikahan siri orang tuanya. Wallahu'alam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement