REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Calon Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memilih tidak menghadiri acara deklarasi Pilkada Damai dan Berintegritas yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya di Hotel Singgasana, Selasa, karena sudah telanjur mengagendakan acara bertemu dengan warga.
"Sudah ada undangan dari masyarakat yang tak bisa di-cancel (batalkan). Warga sudah menyiapkan segalanya, kan kasihan gak didatangi," kata Calon Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana saat menghadiri deklarasi pilkada damai.
Menurut dia, undangan yang disampaikan KPU Surabaya ke tim pemenangan juga terlalu mendadak yakni pada Senin (26/10) Sore. "Kenapa tidak jauh-jauh hari. Kalau undangan disampaikan jauh hari, undangan lainnnya kan bisa dikomunikasikan lagi," ujarnya.
Dia mengatakan dalam masa kampanye seperti saat ini, undangan untuk pasangan Cawali-Cawawali Surabaya yang diusung PDIP yakni Risma-Whisnu dari warga sangat padat. Seperti Risma, pada hari ini selepas menjadi pembicara di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, langsung melanjutkan kegiatan bertemu warga di sejumlah tempat.
"Beliau pagi di UIN, selanjutnya menghadiri beberapa kegiatan lainnya," tandas putra mantan Sekjen DPP PDIP Ir Soetjipto itu.
Alumnus Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menepis kabar bahwa Risma shock sejak isu dugaan penyalahgunaan wewenang terkait masalah pedagang Pasar Turi. Ia dan Risma menganggap berita tersebut sangat poltis dan bernuansa kriminalisasi.
"Saya sama Bu Risma sangat yakin, bahwa itu (berita) sangat politis dan kriminalisasi kasus saja," katanya.
Meski disudutkan dengan upaya kampanye hitam, kata Whisnu, dukungan masyarakat pada pasangan petahana ini terus bertambah besar. Untuk itu, pihaknya tidak mengajukan gugatan hukum balik terhadap pelapor, yang telah mencemarkan nama baik Tri Rismaharini.
"Gak perlu melakukan upaya hukum. Rakyat Surabaya sudah pandai menilai, mana yang benar dan salah," katanya.
Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu menegaskan tindakan kampanye hitam yang ditujukan pada Risma-Whisnu sebagai langkah panik dari lawan politik yang sejatinya mereka tak tahu harus bagaimana membendung besarnya dukungan masyarakat ke Risma/Whisnu.