Ahad 01 Nov 2015 19:47 WIB

Harga Anjlok, Petani Telantarkan Garam di Tambak

Rep: Lilis Handayani/ Red: Julkifli Marbun
Petani Garam (ilustrasi)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani Garam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Para petani garam di Kabupaten Cirebon pada musim produksi tahun ini merugi. Pasalnya, produksi yang melimpah akibat musim kemarau panjang justru membuat harga garam menjadi tak bernilai.

"Harga garam saat ini benar-benar jatuh," ujar Ketua Ikatan Petani Garam Indonesia (IPGI), M Insyaf Supriadi kepada Republika, akhir pekan kemarin.

Insyaf menyebutkan, harga garam kualitas II di tingkat petani sepekan kemarin hanya di kisaran Rp 160 per kg. Padahal, saat permulaan masa produksi pada awal Juni 2015, harga jual garam tersebut masih mencapai Rp 400 per kg.

Besaran harga itu jauh lebih rendah dibandingkan harga pokok pembelian (HPP) garam yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan HPP, harga garam kualitas I mencapai Rp 750 per kg, garam kualitas II Rp 550 per kg dan garam kualitas III Rp 450 per kg.

Menurut Insyaf, anjloknya harga garam disebabkan panjangnya masa produksi garam akibat fenomena el nino. Dia menyatakan, saat ini produksi garam petani sangat berlimpah.

Khusus untuk Kabupaten Cirebon, terang Insyaf, produksi garam petani sudah mencapai lebih dari 300 ribu ton. Padahal biasanya, produksi garam hanya sekitar 260 ribu ton.

Semua gudang di Kabupaten Cirebon, lanjut Insyaf, saat ini sudah penuh dan tidak bisa lagi menampung garam produksi petani. Padahal, masa produksi garam diperkirakan masih akan berlangsung hingga pertengahan November atau tiba musim hujan. 

"Akibat harga garam jatuh, banyak petani yang menelantarkan garamnya di tambak dan sengaja tidak dipanen," kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Petani Garam Kabupaten Cirebon itu.

Insyaf menjelaskan, petani sengaja tidak memanen garam untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Pasalnya, jika garam dipanen, maka mereka harus mengeluarkan upah untuk pekerja yang memanen garam.

Dalam sehari, panen garam bisa mencapai kurang lebih lima kuintal dan dikerjakan oleh dua orang pekerja. Dengan harga garam yang kini hanya Rp 160 per kg, maka hasil yang diperoleh hanya Rp 80 ribu. Uang itu kemudian dibagi dua untuk pemilik lahan dan pekerja yang memanen garam.

"Supaya bisa mendapat untung, harga garam seharusnya minimal Rp 300 per kg," tutur Insyaf.

Tak hanya membiarkan garam di tambak tak dipanen, lanjut Insyaf, garam yang sudah dipanen pun dibiarkan teronggok di pinggir tambak dan hanya ditutupi dengan terpal. Pasalnya, para petani tidak memiliki gudang sendiri untuk menyimpan garam hasil panen mereka.

"Petani jadi serba salah. (Garam) mau dijual, harganya murah. Mau disimpan, tidak punya gudang," terang Insyaf.

Insyaf berharap, pemerintah bisa menyerap garam petani sebanyak-banyaknya supaya harga garam tidak jatuh. Selain itu, dia pun meminta agar pemerintah membuka gudang untuk menampung garam petani sebagai stok.

Seorang petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Junedi menambahkan, selain produksi yang berlimpah, anjloknya harga garam juga disebabkan ulah para tengkulak. Menurutnya, tengkulak kerap menetapkan harga garam dengan nilai yang murah karena para petani garam tersangkut utang kepada tengkulak sebelum masa panen.

"Pemerintah harus menolong nasib petani garam. Kami saat ini benar-benar merugi," kata  Junedi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement