REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan, penyelesaian dualisme kepengurusan partai Golkar perlu musyawarah nasional (munas). Sebab, merujuk dari putusan Mahkamah Agung (MA), saat ini status kepengurusan adalah hasil munas Riau 2009, setelah kepengurusan hasil munas Ncol dibatalkan.
Padahal, kepengurusan Riau akan berakhir masa berlakunya tahun 2015 ini. Kalau tidak ada kepengurusan baru yang dihasilkan dari munas Golkar, maka dikhawatirkan kepengurusan Golkar menjadi status quo. Hal itu juga berlaku jika Golkar memaksakan untuk menerima kepengurusan hasil munas Bali yang dipimpin Aburizal Bakrie.
“Kalau bicara mengenai kembali munas Riau, harusnya akan ada munas lagi, akan ada pertarungan fair,” kata Yunarto pada ROL, Ahad (1/11).
Yunarto menambahkan, dengan munas ini mau tak mau kedua kubu Golkar yang berselisih harus menerima apapun hasilnya. Sebab, munas ini akan fair membuka pertarungan siapapun, baik Aburizal Bakrie maupun Agung Laksono atau kader Golkar lainnya.
Menurut Yunarto, penyelesaian Golkar tidak akan selesai hanya dengan silaturahim nasional (Silatnas). Silatnas, imbuh dia, hanya akan berujung pada mencairnya komunikasi antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Bukan penyelesaian di tingkat organisasi. Berapapun digelar silatnas, menurut Yunarto tak akan efektif.
“Kalau hanya bicara sebatas rekonsiliasi, atau konsolidasi tanpa ada keputusan apakah akan ada munas lagi atau tidak, silatnas ini akan sia-sia,” kata dia.