REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah hampir 12 tahun Transjakarta beroperasi sebagai sistem Bus Rapid Trasnsit (BRT) dan berusaha untuk dijadikan tulang punggung angkutan umum di Ibu Kota Negara, Jakarta. Namun pada kenyataannya, daya angkut sistem Transjakarta masih di bawah sistem BRT lainnya.
Dari beberapa sistem BRT ternama, Transjakarta masih berada di urutan bawah dengan daya angkut penumpang hanya 3.400 penumpang per jam per arah. Jumlah itu jauh di bawah Istanbul, Turki, ataupun Guanzhou (China) yang memiliki daya angkut hingga mencapai 27 ribu penumpang per jam per arah. Di posisi pertama ada Bogota dengan sekitar 37 ribu penumpang per jam per arah.
Dari sisi frekuensi, Transjakarta juga berada di urutan bawah dengan jumlah frekuensi maksimal hanya 40 bus per jam per arah. "Jika dirata-rata, waktu kedatangan antarbus paling cepat sekitar 1,5 menit, padahal di beberapa sistem, frekuensi bus mampu mencapai 350 bus per jam per arah atau sekitar 10 detik jadwal kedatangan antarbus," ujar Direktur Institute for Transportation and Development Study (ITDP) Indonesia, Yoga Adiwinarto saat diskusi bertajuk Buruknya Layanan Transjakarta, Selasa (10/11).
Oleh karena itu, Transjakarta perlu ditingkatkan kapasitasnya secara signifikan agar dapat menjadi tulang punggung angkutan umum di Indonesia. Beberapa koridor di Transjakarta seperti koridor 1, 6, dan 9 berpotensi untuk ditingkatkan hingga mencapai 150 bus per jam per arah atau peningkatan kapasitas angkut melebihi tiga kali lipat dari kondisi saat ini.
Diharapkan dalam kurun waktu empat tahun mendatang, Jakarta dapat memiliki jaringan angkutan umum massal yang berkualitas dunia dengan kapasitas angkut besar. Untuk mencapai hal tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan PT Transportasi Jakarta harus bersungguh membuat seluruh komponen penyelenggara sistem Transjakarta berintegrasi dengan baik.
"Supaya Transjakarta menjadi moda transportasi utama di Jakarta," ujar Yoga.