REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga bulan lebih sudah sebagian besar kawasan Sumatera dan Kalimantan terpapar bencana kabut asap. Tak ayal, kabut asap pekat menimbulkan berbagai dampak kerugian.
Paling tidak sebanyak 43 juta jiwa terpapar dan 19 orang meninggal dunia akibat bencana asap di Sumatera dan Kalimantan. Di sektor pendidikan, sebanyak 24.773 sekolah dan 4.692.537 siswa terpapar asap (data Kemendikbud per 23 Oktober 2015).
Di sektor kesehatan sebanyak 529.527 jiwa terkena Inpeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan (data Kemenkes per 29 Oktober 2015).
Sektor ekonomi juga mendapatkan imbas akibat kabut asap. Dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2015 diperkirakan mencapai lebih dari Rp 200 trilliun.
Kabut asap yang terjadi di enam provinsi juga mengganggu aktivitas perdagangan dan ekonomi masyarakat lantaran daya beli menurun.
Selain itu, produksi tanaman pangan dan sayuran pun menurun sampai 40 persen karena proses produksi tanaman yang mengandalkan sinar matahari terhalang kabut asap.
Selepas hilangnya asap bukan berarti tidak ada dampak yang ditimbulkan. Sebab itu, lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) menginisiasi Program Kerja (Pokja) Nasional Kemanusiaan penanganan kabut asap di ranah pascabencana untuk anak-anak dan kaum rentan terdampak asap.
“Masyarakat yang secara simultan terpapar partikel asap selama dua bulan lebih perlu penanganan yang menyeluruh. Untuk itu sinergi dan kolaborasi antarlembaga kemanusiaan harus dilakukan,'' kata Presiden Direktur Dompet Dhuafa, Ahmad Juwaini di Jakarta, Selasa (10/11).
Mengingat kabut asap ini sudah 19 tahun berulang setiap tahun, sambung Ahmad Juwaini, bisa dibayangkan kualitas generasi masa depan bangsa dari kesehatan khususnya anak-anak yang dari lahir pertumbuhannya harus menghirup asap selama bertahun tahun.