Rabu 11 Nov 2015 09:34 WIB

Fiqh Muslimah: Bolehkah Memotong Rambut dan Kuku Ketika Haid?

Rep: hannan putra/ Red: Muhammad Subarkah
Ketika hawa sedang gerah Muslimah disarankan mengenakan busana yang modelnya sederhana dari bahan yang menyerap keringat.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketika hawa sedang gerah Muslimah disarankan mengenakan busana yang modelnya sederhana dari bahan yang menyerap keringat.

REPUBLIKA.CO.ID, Berkembang pemahaman di masyarakat, orang yang tengah haid dilarang memotong kuku dan rambut. Alasannya, dalam kondisi itu orang tersebut tidak dalam keadaan suci. Jadi rambut dan kuku yang terpisah dari tubuhnya tentu juga tidak suci. Jika rambut dan kuku ini dibuang, ia akan bermasalah di hari Kiamat nanti.

Analoginya, di hari berbangkit setiap orang akan dikembalikan lagi seluruh anggota tubuhnya secara sempurna sebagaimana di dunia. Jika ada anggota tubuh yang dibuang seperti rambut dan kuku dalam keadaan tidak suci, tentu ia akan kembali dalam keadaan tidak suci pula. Ini akan menjadi aib bagi dirinya karena beberapa anggota tubuh seperti rambut dan kuku yang najis atau tidak suci. Benarkah demikian?

Permasalahan ini kerap ditanyakan kepada para ulama. Larangan memotong kuku dan rambut kerap disamakan dengan orang yang berqurban. Sebagaimana hadis Nabi SAW, orang yang berqurban dilarang untuk memotong rambut dan kuku terhitung saat memasuki tanggal 1 Zulhijjah. (HR Muslim).

Namun persoalan wanita yang sedang haid, nifas, atau junub, tidak ditemui satupun pendapat ulama yang mengakomodir larangan untuk memotong kuku atau rambut. Dalilnya, karena memang tidak ditemui dalil yang melarangnya.

Ibnu Taimiyah dalam kitab fenomenalnya Majmu’ Al-Fatawa, (21/120-121) pernah mengupas persoalan ini. Fatwa Ibnu Taimiyah berasal dari pertanyaan orang kepadanya pasal boleh-tidaknya memotong rambut atau kuku saat junub atau haid. Ibnu Taimiyah membantah jika memotong rambut atau kuku saat haid punya kaitan dengan hari berbangkit sebagaimana diisukan.

Menurut Ibnu Taimiyah, seorang mukmin tak boleh disebut najis. Ini berdalil dengan hadis Nabi SAW, "Sesungguhnya orang Islam itu tidak najis." (HR Bukhari Muslim). Bahkan jika seorang mukmin yang sudah meninggal, jenazahnya tidak disebut najis (HR Hakim). Sebutan Najis hanya bagi orang kafir saja. Firman Allah SWT, "Hanyalah orang-orang musyrik itu najis." (QS at-Taubah [10]: 28). Adapun orang haid dan nifas hanya darahnya saja yang najis, bukan orangnya. Demikian pula bagi orang yang junub.

Dalam hadis Nabi SAW dan atsar para sahabat ditemui anjuran bagi wanita haid dan nifas untuk memelihara kebersihan. Misalkan, orang yang haid dianjurkan untuk mandi dan menyisir rambutnya. Padahal bagi sebahagian wanita yang mengalami kerontokan, menyisir rambut dapat mencabut sebahagian rambut.

Hal ini terjadi kepada istri Nabi SAW, Aisyah RA. Ketika Aisyah RA menunaikan haji Wada' bersama Nabi SAW, ia mendapati dirinya haid. Nabi SAW memintanya untuk mandi dan bersisir. "Uraikan rambutmu dan bersisirlah. Serta berihlal (talbiyah) dengan haji dan tinggalkan umroh," sabda Beliau SAW. (HR Bukhari Muslim).

Ahli fiqh Mazhab Syafi'iyah secara tegas memperbolehkan kaum wanita yang haid atau nifas memotong kuku, mencukur bulu ketiak/ kemaluan, dan seterusnya. Tak ada keterangan jika melakukan hal-hal tersebut akan berdampak buruk di hari berbangkit nanti. Demikian diterangkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj (4/56).

Mufti Arab Saudi, Syekh Ibnu Utsaimin dalam kumpulan fatawa Az-Ziinah Wal Mar’ah karangannya juga disinggung persoalan ini. Syekh Utsaimin membantah jika orang yang tengah haid, nifas, atau junub dilarang untuk memotong kuku dan rambut. Malahan orang yang haid dan nifas sebenarnya dianjurkan memelihara kebersihan tubuhnya seperti memotong kuku dan bercukur.

Al-Utsaimin menambahkan, jika wanita yang haid atau nifas mengalami mimpi basah, ia dianjurkan untuk mandi janabat sebagaimana waktu ia suci. Demikian juga jika ia bercumbu dengan suaminya tanpa jima' yang sampai keluar mani. Maka wanita ini tetap melakukan mandi janabah walau ia dalam keadaan haid dan nifas.

Muhammad bin Yusuf Al-Ibadhi dalam kitabnya Syarkh An-Nail Wa Syifai Alil (1/347) menyebut pemahaman yang melarang wanita haid dan nifas memotong kuku/ rambut tersebut sebagai perkara bid'ah. Yang demikian jika ia meyakini akan berpengaruh pada hari berbangkit. Umat Islam dilarang untuk mengharamkan perkara yang dibolehkan. Sebagaimana dilarang untuk membolehkan perkara yang dihalalkan.

Hadis Rasulullah SAW menegaskan, "Sesungguhnya yang paling besar dosa dan kejahatannya dari kaum muslimin adalah orang yang bertanya tentang hal yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut menjadi diharamkan karena pertanyaannya tadi." (HR Bukhari). Dalam persoalan memotong rambut atau kuku bagi wanita haid dan nifas hukumnya boleh. Tidak boleh disebut makruh, apalagi haram tanpa ada dalil yang menerangkan. Wallahu'alam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement