REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum internasional Ade Maman Suherman mengatakan, pengadilan dengar pendapat kasus PKI (International People's Tribunal) adalah proses pengadilan internasional untuk membawa bukti-bukti pelanggaran kejahatan kemanusian ke PBB. Itu merupakan tahapan pertama proses resmi untuk mengadili kasus kejahatan HAM di pengadilan Internasional.
"Sidang dengar pendapat ini resmi, karena mereka secara resmi menyiapkan dokumen dan pengacara resmi di Den Haag, Belanda," ujarnya kepada Republika.co.id pada Rabu (11/10). (Baca: Hikmahanto: Belanda Gelar Sidang Kasus Pembantaian PKI)
Menurut dia, rekomendasi sidang dengar pendapat itu selanjutnya dibawa ke PBB. Ada konstruksi yang berbeda, seperti sidang kejahatan kemanusiaan Rawa Gede. Saat kasus Rawa Gede, pelaku jelas tentara Belanda. Saat terjadi peristiwa tersebut mereka belum mengakui Indonesia merdeka.
Berbeda dengan PKI, pelaku dan korban adalah warga Indonesia. Sehingga kasus tersebut hanya bisa dibawa ke Pengadilan Internasional.
Sebelumnya, pengadilan rakyat' di Belanda, Selasa (10/11), menggelar sidang dengar pendapat terkait tudingan aktivis yang menyebut Pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas tewasnya ratusan ribu orang dalam kasus gerakan PKI 50 tahun lalu.
Pengacara kelompok hak asasi manusia menuntut Pemerintah Indonesia atas sembilan dakwaan dari mulai pembunuhan, penyiksaan, hingga kekerasan seksual pada era 1965-1966. Diperkirakan 500 ribu orang tewas.
Pengadilan ini memang tidak memiliki kekuatan hukum resmi. Namun para aktivis sepertinya ingin menunjukkan masa kelam pemerintahan Indonesia pascapenjajahan.
Salah satu kesaksian pertama disampaikan oleh Leslie Dwyer yang melakukan penelitian di Bali. Ia mengungkapkan sekitar 80 ribu hingga 120 ribu orang terbunuh antara akhir 1965 dan Maret 1966.
Pembunuhan terjadi ketika pasukan khusus pemerintah tiba dan memulai mengorganisir polisi lokal dan kelompok-kelompok tertentu. Dwyer mengatakan, dalam beberapa kasus, meski memiliki hubungan sangat lemah dengan komunis, seseorang bisa ditangkap. Misalkan mereka yang bernyanyi atau menari di acara Partai Komunis Indonesia.
Nursyahbani Katjasungkana, aktivis hak asasi manusia yang juga mantan anggota dewan mengatakan, pemerintah di Jakarta harus bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi pada masa lalu.
"Pemerintah Indonesia bertanggungjawab untuk memenuhi dan menghormati korban," ujarnya. "Mereka memiliki hak untuk keadilan, hak kebenaran dan reparasi."