REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian masyarakat Yolngu bahkan menganggap orang Makassar sebagai kerabat lama yang hilang. Itu bukan satu-satunya kontak Muslim Nusantara dengan masyarakat Aborigin.
Pada akhir abad ke-19, awal abad ke-20, sekelompok orang Melayu bekerja di penambangan mutiara di Broome, pantai barat daya Australia. Seperti halnya nelayan Makassar, banyak orang Melayu menikah dengan perempuan asli Australia. Hari ini, masih banyak keluarga di Australia Utara yang memiliki nama-nama seperti Doolah, Hassan, dan Khan.
Jauh-jauh dari Asia Selatan, para penunggang unta asal Afghanistan juga telah menjalin hubungan dengan Aborigin sejak 1850-an. Antara 1860-1930, sekitar 400 penunggang unta datang ke Australia. Mayoritas dari Afghanistan, tetapi sebagian datang dari India dan Pakistan. Mereka mewariskan sejumlah masjid tertua dan memainkan peran kunci dalam membuka rute padang pasir.
Orang-orang inilah yang meletakkan dasar infrastruktur jalur Over land Telegraph Line dan Ghan Railway yang melintasi padang pasir Australia dari utara ke selatan. Tergerus Seiring perubahan iklim politik dan kebijakan kulit putih, identitas suku asli Australia kian tergerus zaman.
Islam pun terdengar asing bagi masyarakat Australia modern. Namun, sisa-sisa kontak sejarah tetap membekas. Peta Stephenson, sosiolog dari Universitas Victoria, mengatakan, kompabilitas keyakinan antara Aborigin dan Islam tidak jarang ditemukan. Misalnya, praktik sunat laki-laki, sikap budaya menghormati yang lebih tua, dan ajaran bersikap selaras dengan alam.
"Banyak orang Aborigin yang saya ajak bicara perihal kesamaan budaya ini mengutip ajaran Alquran yang mengatakan 124 ribu nabi telah dikirim ke bumi. Mereka berpendapat, beberapa nabi telah mengunjungi Aborigin dan menyampaikan risalahnya," kata Stephenson. Justin Agale, Muslim keturunan campuran Aborigin- Torres Strait Islander, misalnya, juga melihat Islam sebagai `kelanjutan' dari budaya Aborigin-nya.