Senin 16 Nov 2015 11:26 WIB

Jepang Minta Cina tak Buru-Buru Reformasi Yuan

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Mata uang Yuan (ilustrasi)
Mata uang Yuan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang menunjukkan kekhawatiran potensi modal Cina keluar dari Negeri Sakura tersebut dan Pemerintah Cina tidak buru-buru mereformasi sistem mata uang.

Setelah mengalami guncangan di musim panas lalu, kini Cina jadi penentu bagi Jepang seiring arus modal keluar yang sudah mencapai ratusan miliar dolar AS dan menjadi kini jadi beban.

Reuters, Senin (16/11) melansir, pasar modal Jepang merosot lebih dari 40 persen dalam beberapa bulan dan hantaman devaluasi yuan menunjukkan cepatnya Beijing kehilangan kendali pasar jika terlalu terburu-buru membuka pasar.

''Jika sistem keuangan Cina tidak stabill, efeknya untuk Jepang dan Asia akan luar biasa,'' kata seorang pejabat Jepang yang tak mau disebut identitasnya.

Jepang sudah secara resmi mendukung reformasi yuan dan percaya Beijing mampu menanganinya dengan baik. Namun, sektor swasta Jepang berekspresi sebaliknya. Mereka menentang langkah Beijing yang terlalu cepat mereformasi yuan di tengah aliran modal keluar yang bisa jadi dimanfaatkan para spekulator.

Jepang sebenarnya sudah menyampaikan kekhawatiran mereka kepada Cina dalam berbagai kesempatan termasuk pertemuan petinggi keuangan G20 di Turki pada September lalu.

Cina mengambil langkah besar dengan menginternasionalisasi yuan dalam kelompok mata uang yang memiliki hak transaksi khusus (SDR) di Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu. Para analis memprediksi, inklusi ini akan melambungkan permintaan yuan hingga lebih dari 500 miliar dolar AS. ''Reformasi dulu, baru berdebat apakah yuan bisa masuk SDR atau tidak,'' kata pejabat Jepang lainnya.

Cina dinilai tengah mengubah ekonomi global dari manufaktur ke konsumsi dengan liberalisasi penuh yuan pada 2020. Hal yang menurut Jepang terlalu ambisius.

Sementara itu Amerika Serikat mendorong agar Cina tetap pada rencana reformasi mata uangnya. Sementara Jepang akan menanggung beban berat atas langkah itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement