REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Penyelenggara haji dan umrah (PHU) dan perbankan syariah dinilai harus saling membantu termasuk soal aneka transaksi fasilitas ibadah haji dan umrah bagi jamaah. Adanya aturan kewajiban penggunaan rupiah di dalam negeri harus memicu kedua pihak lebih inovatif.
Mantan Direktur Jenderal Penyenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu mengatakan, ada regulasi baru yang mengharuskan biaya haji dan umrah disetor dalam rupiah, tidak boleh dalam dolar atau riyal.
Terkait Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Anggito menyatakan asosiasi PHU sudah mengajukan permohonan pengecualian penggunaan valuta asing (valas).
Karena PHU kesulitan mengelola valas, perlu bantuan dari perbankan syariah. Sebab jika PBI ini tidak diikuti, ada sanksi.
''Saya harap perbankan syariah bisa membantu, terlebih 60 persen komponen umrah adalah penerbangan yang kursnya tidak tunduk pada aturan Indonesia,'' kata Anggito, Senin (16/11).
Anggito menekankan, Asosiasi Transportasi Udara Internsional (IATA) tidak berhak mengeluarkan kurs valas. Sebab itu adalah wewenang pemerintah.
Dalam PBI tersebut ada pengecualian bagi sektor usaha tertentu dan mengharuskan permohonan pengecualian diajukan pihak yang berkepentingan.
Anggito menilai, selain biaya haji, memang sudah seharusnya penyetoran biaya umrah juga melalui perbankan syariah. Bagi perbankan syariah, ini bisa jadi captive market dan menambah likuiditas. Banyaknya likuiditas murah membuat pembiayaan bank syariah juga lebih kompetitif.
''Haji sudah harus ditempatkan di bank syariah, sementara umrah masih bebas di konvensional dan syariah. Biaya umrah harusnya juga pindah,'' kata Anggito.
Karena itu, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan ini menilai perbankan syariah juga harus kreatif menyiapkan produk. Penempatan dana penyelenggaraan umroh di bank syariah akan membantu industri ini bergerak cepat.