REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regulasi penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan yang diproduksi pemerintah dinilai belum efektif dan cenderung diabaikan pelaksanaannya. Bahkan, regulasi dikhawatirkan menjadi celah "penunggang gelap" melakukan penguasaan lahan hutan secara tidak adil, sehingga berdampak pada degradasi fungsi hutan.
Regulasi yang dimaksud yakni Peraturan Bersama (Perber) Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No 79/3014, No Pb. 3/Menhut/-II/2014; No 17/PRT/M/2014 dan No 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan.
"Perber ini cacat dari segi hukum dan ekonomi, mengundang euphoria 'penunggang gelap' untuk menguasai lahan di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan," kata Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia (GNI)) Transtoto Handadhari dalam diskusi nasional bertajuk Menyelesaikan Konflik Tenurial Kawasan Hutan Secara Bijak di Hotel Le Meredien, Senin (16/11).
Ia mencontohkan, dalam Perber disebutkan orang yang tinggal selama 20 tahun di sebuah kawasan hutan disaksikan oleh dua orang yang bukan saudara, maka ia berhak membuat sertifikasi lahan.
Sementara ketika belum genap 20 tahun tinggal, orang tersebut diberi proyek pembiayaan masyarakat dan diberi sertifikat untuk kawasan yang belum jelas lokasinya. Praktik-praktik tersebut rentan penyalahgunaan bahkan makin mengaburkan kepemilikan lahan secara legal oleh masyarakat adat.
Sejak Perber keluar pertama kalinya, lanjut dia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganggapnya bagus. Apalagi pada dorongan dari KPK dalam pembuatannya. Oleh karena itu, Perber harus direvisi dan ditingkatkan statusnya menjadi Instruksi Presiden atau Peraturan Pemerintah.
Revisi yang ia maksud mencakup pencantuman pembatasan yang tak mengabaikan fungsi pokok hutan dan kehutanan, penyelesaian masalah tanah masyarakat hukum adat dengan tetap dijamin tak merusak fungsi konservasi hutan serta menetapkan tata waktu penyelesaian konflik secara rasional.
"Selain itu, bagi kawasan yang telah diterbitkan izin usaha, perlu dijamin kelestariannya," kata dia. Yang terpenting yakni memastikan prosedur pelaksanaannya bertanggung jawab tanpa dicampuri praktik KKN ataupun tekanan politik.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hadi Daryanto menjelaskan, penunggang gelap dapat diantisipasi karena pemerintah memiliki sistem online serupa taksi uber atau Gojek. "Kita punya 2.400 kontak person dari kalangan LSM yang sehari-hari bekerja di lapangan," katanya.
Dengan begitu, pengawasan ketat dilakukan agar pelaksanaan peraturan tidak dibarengi kecurangan. Di samping itu, ia menyebut Presiden sudah bertemu dengan KLHK dan ingin membentuk satgas masyarakat adat. Hal tersebut merupakan bukti pemerintah berkomitmen tinggi terhadap kepastian hukum masyarakat adat.