REPUBLIKA.CO.ID, PARIS – Oday Ghalyoun sedang dalam perjalanan ke apartemen seorang teman di Voltaire, pusat kota Paris, pada Jumat (13/11) malam ketika ia mendengar suara berderak sekitar 45 meter di belakangnya.
Ghalyoun, pengungsi Suriah berusia 25 itu, pada awalnya mengira kembang api. Tapi, segera setelah ia bergegas menjauh dari sumber kebisingan -gedung konser Bataclan-, Ghalyoun berubah pikiran.
“Saya menghabiskan dua tahun di Homs, sebuah kota yang telah menyaksikan pertempuran tanpa henti selama lebih dari empat tahun perang saudara. Saya tahu bagaimana suara Kalashnikov."
Bagi Ghalyoun dan sekian ribu pengungsi Suriah lain, pemandangan di ibukota Prancis Jumat malam itu amat akrab, sekaligus traumatis. Suara tembakan disusul teriakan panik dan korban yang tertegun dengan pakaian berdarah-darah.
Juga, pelakunya sama. Pelaku yang telah bertanggung jawab atas insiden itu sama dengan aktor perang sipil Suriah atau ISIS. Dilansir dari Al Jazeera, Selasa (17/11), kebrutalan ISIS adalah faktor utama yang mendorong krisis migran.
“Mereka meninggalkan Suriah karena perang, tapi menemukannya lagi di sini,” kata Lyna Chami, seorang relawan Suriah-Prancis.
Lantas, saat Prancis berkabung dengan apa yang baru saja mereka alami, Suriah dihadapkan pada beban tambahan; disalahkan. Menurut sebuah laporan, paspor Suriah telah ditemukan di dekat jasad salah seorang pembom bunuh diri.
Pejabat AS, Ahad (15/11) lalu, mengungkapkan, penyerang mungkin memiliki kontak dengan ISIS di Suriah. Tidak jelas apa artinya bukti ini. Yang pasti, pengungkapan koneksi ke Suriah telah menghidupkan kembali perdebatan sengit di Eropa.
Apalagi kalau bukan, risiko keamanan yang ditimbulkan oleh puluhan ribu pengungsi yang mendarat di pantai Eropa tiap bulan. Partai sayap kanan di Eropa menguarkan ketakutan terburuk mereka. ISIS mungkin menyelinap ke Eropa di antara ratusan ribu pengungsi yang putus asa.