Jumat 20 Nov 2015 18:03 WIB

Apa Perbedaan Antara Kata 'Allah' dan 'Rab'?

Bismillah
Foto: IST
Bismillah

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam artikel terdahulu, sudah dibahas mengapa dalam basmalah digunakan kata "bismillah", bukan biismi Rab; mengapa harus "bismillah" menggunakan perantaraan ism, tidak langsung dikatakan billah al-rahman al-rahim. Di dalam surah al-Fatihah kata "Allah" dan "Rab" digunakan dua-duanya. Pembahasan kali ini, apa perbedaan antara kata "Allah" dan kata "Rab" Dan, Apa hubungannya dengan kata "Ilah" dan "al-asma' al-husna"?

Kata "Allah" adalah lafaz Yang Maha Agung (lafzh al-Jalalah). Tidak boleh dan tidak akan pernah ada apa pun dan siapa pun yang bisa menggunakan nama ini. Kata ini mutlak hanya nama-Nya, Dia Yang Maha Tunggal (Ahadiyyah). Karena itu, kata "Allah" satu-satunya nama Tuhan yang tidak memiliki bentuk jamak. Berbeda dengan kata "Rab" yang mempunyai bentuk jamak (arbab) dan kata "Ilah" yang juga memiliki bentuk jamak (alihah).

Kata "Allah" yang tergabung dari huruf alif, lam, lam, ha memiliki keunikan yang tidak terjadi pada nama-nama lain-Nya. Jika dibuang huruf alif masih tetap terbaca lillah berarti "untuk Allah". Jika dibuang satu huruf lam maka masih tetap terbaca lahu berarti "untuk-Nya". Jika dibuang semua huruf lam maka masih tetap dapat dibaca hu kata ganti (dhamir) dari Allah berarti "Dia".

Kata "Allah" adalah lafadh al-jalalah, adalah nama dari diri-Nya sebagai Ahadiyyah, sebagai entitas utama dan pertama (al-Ta'ayyun al-Awwal). Sedangkan, kata "Rab"nama dari diri-Nya sebagai entitas kedua (al-Ta'ayyun al-Tsani). Nama Rabb selevel dengan al-Asma' al-Husna. Meskipun dikatakan Entitas Kedua, masih tetap keberadaan- Nya (al-Hadharat al-Ilahi), karena itu disebut Entitas Permanen (al- A'yran al-Tsabitah).

Entitas ini tidak termasuk kategori alam dalam arti entitas-entias selain Allah (kullu ma siwa Allah). Entitas-entitas berikutnya, yaitu entitas ketiga (al-ta'ayyun al-tsalits) dan seterusnya itulah yang disebut alam. Meskipun alam bukan diri- Nya tetapi merupakan manifestasi lanjutan (tajalli) dari diri-Nya.

Entitas nama-nama (ta'ayyun al-asma') berada di dalam ta'ayyun atau al-khadharat kedua, tetapi masih tetap "Dia" dalam konsep al- Wahidiyyah. Allah SWT memiliki 99 nama (menurut versi Sunni) yang kemudian populer disebut al-Asma' al-Husna. Setiap nama- nama itu menuntut menivestasi dan sekaligus aktualisasi. Tuhan bisa disebut Rab kalau ada penyembah (marbub), disebut Ilah kalau ada ma'luh, disebut al- Rahman, al-Rahim, al-Wahhab, dan seterusnya kalau ada objek yang diberi kasih sayang. Ada yang mengalir (al-faidh) dan ada objek yang dialiri (al-mustafadh).

Dengan demikian, setiap kali kita bicara tentang alam maka setiap itu pula kita bicara tentang sesuatu yang tak terpisahkan dengan Allah SWT. Tidak ada artinya kita bicara tentang alam (kullu ma siwa Allah) tanpa berbicara tentang Allah SWT karena Dia bukan hanya sebagai Tuhan seluruh alam (Rab al-'alamin), tetapi Dia juga memberikan jejak-jejak diri-Nya pada setiap alam, baik dalam makrokosmos maupun mikrokosmos.

Sang Khaliq tidak akan pernah mungkin dipisahkan dengan makhluk karena keseluruhan makhluk tidak lain adalah tajalli-Nya sendiri sebagai ta'ayyun lanjutan dari al-A'yan al- Tsabitah. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini akan dibahas tersendiri di dalam konsep Keesaan Zat (al-tauhid al-Dzati). Manusia berada di dalam ta'ayyun atau khadharat terakhir.

Itulah sebabnya manusia tidak disandarkan langsung kepada Allah SWT sebagai al-Ta'ayyun al- Awwal, tetapi disandarkan kepada al-Asma' sebagai Ta'ayyun kedua-Nya. Di dalam Alquran, Allah SWT menggunakan istilah: Bismillah al-Rahman al-Rahim dan Iqra' bi Ism Rabbik. Pengecualian kata "bismillah" yang huruf alifnya terbuang ka rena Nabi memintanya untuk di buang, karena begitu dekatnya beliau SAW dengan Tuhannya sehingga huruf alif yang mengantarainya tidak perlu ada, dan cukup hanya kata ism yang mengantarai diri-Nya (lihat artikel terdahulu).

Kesemuanya ini mempunyai arti tersendiri dalam teologi. Jika manusia ingin mendekatkan diri (taraqqi atau kembali menyatu dengan diri-Nya (ittihad) maka ia harus menempuh perjalanan (suluk) melalui rute awal penciptaannya. Perjalanan manusia mengikuti proses kehadiran Lima Eksistensi (al-Hadharat al- Kham sah), yakni dari Ahadiyyah, Wahidiyyah, Alam Jabarut, Alam Malakut, dan Alam Syahadah.

Peta jalan (road map) yang pernah dilalui manusia dalam proses perjalanan hidupnya (qaus al-nuzul), menurut Ibnu `Arabi melalui empat tahap. Pertama, dari alam atas ke alam bawah (min al-'alam al-'ulya ila al-'alam al-sufla). Kedua, dari wujud batin ke wujud zahir (min al-bathin ila al-dhahir). Ketiga, dari wujud kolektif ke wu- jud terperinci (min al-ijmal ila al- tafshil). Keempat, dari wu jud ke satuan (qur'an) ke wujud keterpisahan (furqan). Pembahasan lebih lanjut akan diuraikan nanti ketika dibahas Tauhid Dzati, Tauhid Asma', Tauhid Shifat, dan Tauhid Af'al. Allahu a'lam. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement