REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyikapi meningkatnya ancaman terorisme transnasional belakangan ini. Salah satu strategi BNPT adalah penguatan jalur perbatasan.
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Hamidin mengatakan ancaman terorisme kini bukan lagi menargetkan satu negara saja. Tapi mereka bergerak lintas batas negara. Ia mencontohkan kasus terorisme yang terjadi belakangan baik di Eropa, Timur Tengah dan bahkan Indonesia.
"Gerakan terorisme telah berkolaborasi dan mereka tidak lagi bergerak hanya pada batas wilayah," katanya saat Uji Publik Standar Operasional Prosedur (SOP) Pengawasan Ancaman Terorisme di wilayah perbatasan, Selasa (24/11).
Ia mencontohkan seperti kasus ISIS yang saat ini sudah mengglobal, memiliki jaringan yang sangat banyak. Di Indonesia sendiri, BNPT mencatat sudah 514 WNI yang tergabung ISIS. Dan 106 di antaranya sudah dideportasi ke Indonesia.
Contoh lain dari pelaku teror di Indonesia, Hambali misalnya merupakan WNI yang memiliki paspor Spanyol. Kemudian Kastari warga Singapura yang hampir mendapatkan status warga negara Indonesia. Begitu pula kelompok separatis radikal Uighur yang sudah masuk ke Indonesia. Ini menunjukkan terorisme sudah tidak mengenal batas wilayah.
Hamidin menekankan perlu penguatan dan pengawasan ancaman terorisme di perbatasan. Kini BNPT sedang berusaha merancang hal ini. "SOP pengawasan perbatasan ancaman terorisme ini panduan pengawasan orang serta barang yg diduga sebagai ancaman terorisme," terangnya.
SOP ini akan melengkapi aturan yang sudah ada di beberapa instansi terkait perbatasan. BNPT berharap SOP ini bukan hanya mengawasi keluar masuknya orang namun juga penyeludupan senjata, bahan peledak dan amunisi. Secara keseluruhan Indonesia memiliki 85 titik perbatasan yang berbatasan dengan 10 negara di seluruh Indonesia.