REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Ketua DPR RI, Setya Novanto dianggap masuk kategori pelanggaran kode etik yang bersifat berat. Pelanggaran dinilai akan berdampak pada sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR. Pelanggaran itu juga berdimensi pidana penipuan dan/atau pemerasan.
"Bahkan potensial juga mengarah pada tindak pidana gratifikasi dan korupsi," ujar Ketua Setara Institute, Hendardi, Jumat (27/11).
Untuk memeriksa pelanggaran dengan kategori berat ini, Peraturan DPR RI No1/2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat mengharuskan pembentukan panel gabungan. Panel terdiri dari tiga orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan empat orang unsur eksternal DPR yang kredibel.
Ketentuan waktu pembentukan panel, kata Hendardi, juga diatur secara limitatif. Pembentukan panel paling lama 10 hari terhitung sejak MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang bersifat berat terhadap anggota.
"Mengacu pada mandat legal sebagaimana dituangkan dalam tata tertib DPR di atas, sudah semestinya setelah MKD memutuskan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Novanto dan akan memeriksanya secara terbuka," jelas Hendardi.
MKD DPR RI, lanjutnya, harus segera membentuk panel dan merekrut empat anggota masyarakat secara terbuka pula. Tokoh-tokoh yang berintegritas dapat direkrut untuk menyelamatkan kredibilitas dan integritas DPR.