REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Perang dingin antara Turki dan Rusia bisa saja merugikan keduanya. Sebab, Turki dikabarkan sangat bergantung pada Rusia untuk memasok gas alam. Istanbul tahun lalu dilaporkan membeli gas Rusia senilai 10 miliar dolar AS.
Dilansir dari Gulf Time Wakil Menteri Energi Rusia Anatoly Yanovsky mengatakan, pasokan gas ke Turki akan terus berjalan sesuai dengan kontrak. Namun dalam waktu jangka panjang Turki harus mencari alternatif lain dan tak lagi ketergantungan dengan gas Rusia.
"Turki tidak akan menghentikan kerja sama energi, tetapi Turki akan mulai berpikir untuk mencari pasokan gas dari negara lain," ujar spesialis keamanan energi di Methinks Ltd, Jedburgh, Skotlandia, Sabtu (28/11). Turki dapat memilih bekerja sama dengan perusahaan gas dari Amerika Serikat atau Iran.
Menurut analis Alfa Bank Moskow, Alexander Kornilov sebenarnya hubungan antara Turki dan Rusia sudah tak baik sebelum pesawat perang Rusia ditembak jatuh. Ini karena pembicaran mengenai pembangunan pipa gas baru terhenti.
Tahun lalu Presiden Rusia, Vladimir Putin mengatakan Turki dapat menjadi penghubung jalur energi dengan Eropa Selatan. Rencananya pipa gas akan dibangun di bawah Laut Hitam.
Nyatanya perusahan gas Rusia Gazprom menyatakan bulan lalu mereka akan memotong aliran gas hingga 50 persen ke Turki dan Eropa. Pipa tersebut awalnya digunakan untuk mengurangi ketergantungan transit gas melalui Ukraina.
Analis di Pusat Studi Strategis Den Haag, Sijbren de Jong menilai Rusia harus berpikir dua kali jika akan membalas Turki dengan mengancam pemutusan kerja sama atau mengacaukan harga gas. Konsumsi gas Turki dari Rusia setara denga 17 persen dari total ekspor Gazprom.
Saat ini Iran bersiap kembali untuk mengekspor gas alamnya setelah pencabutan sanksi terkait program nulir. Perusahaan energi AS Cheniere Energy telah mulai memasarkan kapal tanker gas alam cair pertamanya Januari 2016 mendatang.