REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kasus AIDS di kalangan sopir di DIY lebih tinggi daripada HIV. Hal ini karena fenomena urban. Sopir merupakan populasi rentan terhadap HIV dan AIDS karena sering berpindah dari satu daerah ke daerah lain dan jauh dari keluarga (istrinya).
Kepala Seksi Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehtan DIY, Ahmad Ahadi mengungkapkan, kasus HIV dan AIDS di DIY 1992 sampai September 2015 terutama pada sopir 115 orang dengan perincian: sebanyak 70 kasus sudah masuk fase AIDS dan sebanyak 45 kasus HIV.
"Membuktikan jumlah AIDS lebih tinggi di kalangan sopir," ujanya dalam seminar dalam Hari AIDS Sedunia Bertema “Perilaku Sehat, yang diselenggarakan Komisi Penanggulangan AIDS di Yogyakarta, di Ruang Pertemuan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika DIY, Selasa (1/12).
Menurut Pengelola Program KPA (Komisi Penanggulangan HIV-AIDS) DIY, Ana Yuliastanti, hal itu karena ketidaktahuan sopir. Mereka datang ke pelayanan kesehatan setelah jatuh sakit dan sudah sampai masuk fase AIDS. Padahal masa inkubasi dari HIV menuju AIDS diperlukan waktu sekitar 10 tahun.
"Kalau seseorang sudah AIDS, sudah banyak infeksi yang masuk, dan sebelumnya mereka tidak menyadari atau tidak tahu bahwa mereka terkena HIV dan AIDS," ungkap Ana.
Sama halnya dengan di Kabupaten Gunung Kidul, kasus AIDSnya juga lebih banyak daripada HIV. Mereka karena banyak yang pergi bekerja ke luar dari Gunung Kidul meninggalkan keluarga dalam waktu cukup lama. Sehingga mereka melakukan hubungan seks tidak dengan pasangan atau isterinya. Setelah kembali ke Gunung Kidul dan sakit sudah fase AIDS. Mereka kebanyakan para pekerja bangunan, wiraswasta seperti tukang bakso dan ada juga sopir.