REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Provinsi Jawa Tengah mewaspadai masa krusial tiga bulan pertama tahun 2016. Periode ini diprediksi bakal menjadi tantangan besar bagi daerah ini dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam.
Kepala Biro Humas Provinsi Jawa Tengah, Sinung Nugroho mengatakan, tiga bulan pertama bakal menjadi periode rawan bencana alam di daerahnya. Prediksi ini didasarkan pada tren bencana alam yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Jawa Tengah.
Ia mengatakan, intensitas hujan akan mencapai titik ekstrim pada bulan Januari hingga Pebruari 2016. Meski begitu, bulan Desember 2015 dan Maret 2016 juga tetap harus diwaspadai.
“Musibah tanah longsor di Dusun Jemblung, Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banyumas terjadi pada bulan Desember 2014,” ungkap Sarwana di Semarang, Sabtu (26/12).
Pada bulan Januari dan Pebruari 2016, potensi banjir di sejumlah daerah di Jawa Tengah cukup besar. Selain banjir, periode ini juga menjadi potensi bencana tanah longsor di daerahnya.
Oleh karena itu, BPBD Provinsi Jawa Tengah telah melakukan pemetaan kawasan dengan kerawanan bencana alam di Jawa Tengah. Karena Provinsi Jawa Tengah ini menjadi salah satu dengan potensi bencana lengkap.
Mulai dari banjir, tanah longsor, angin puting beliung, tsunami, gempa bumi hingga bencana vulkanologi. “Pemetaan ini, masih mengacu potensi bencana tahun 2015 di Jawa Tengah,” katanya.
Berdasarkan pemetaan tersebut, pada tahun 2016 nanti bencana alam banjir masih berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Demak, Pati, Kudus, Jepara, Karanganyar, Sragen, Klaten, Kebumen, Pemalang dan Kabupaten Brebes.
Sedangkan peta kerawanan tanah longsor pada tahun 2016 nanti masih berpotensi terjadi di wilayah Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, Karanganyar, Kebumen, Cilacap, Pemalang, Brebes, Kudus serta Kabupaten Semarang.
Di luar potensi bencana alam pada periode krusial, masih jelas Sinung, Provinsi Jawa Tengah juga menyimpan potensi bencana kekeringan yang jamak terjadi pada musim kemarau.
Wilayah dengan potensi kekeringan meliputi Kabupaten Blora, Rembang, Wonogiri, Brebes, Kebumen, Klaten dan Kabupaten Banyumas. “Seperti halnya tahun 2015, potensi kekeringan di daerah ini masih akan berlangsung pada tahun 2016,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan, dengan pemetaan potensi bencana alam ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah terus meningkatkan koordinasi dengan BPBD masing- masing daerah guna mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Salah satu langkah yang diambil adalah berkoordinasi dan menginstruksikan kepada seluruh BPBD kabupaten/kota untuk sosialisasi nomor telepon posko penanggulangan bencana alam.
“Termasuk menyediakan saluran informasi kepda masyarakat terkait dengan langkah dan saluran mana yang harus dihubungi masyarakat jika sewaktu- waktu terjadi bencana alam di wilayahnya,” tegas Sinung.
Koordinasi ini menjadi salah satu upaya memperkuat mitigasi bencana alam guna menghindari korban jiwa massal. Di luar sistem koordinasi, Pemerintah melalui BPBD Jawa Tengah dan dukungan BNPB juga telah menyiapkan sistim peringatan dini bencana alam di wilayah potensial.
“Di sejumlah wilayah dengan kerawanan longsor di Kabupaten Banjarnegara telah dilakukan pemasangan alat pendukung sistem peringatan dini bencana tanah longsor, sebagai langkah mitigasi bencana,” tambahnya.
Sedangkan untuk mengantisipasi bahaya banjir, di setiap lini pemerintahan di Provinsi Jawa Tengah telah diinstruksikan untuk melakukan gerakan resik kali secara menyeluruh dan komperehensif .
Gerakan ini juga melibatkan unsur masyarakat, pemerintah selaku pemangku kewenangan serta dukungan TNI/Polri. Gerakan ini telah dimulai di selurah daerah, baik daerah yang terpetakan rawan banjir maupun daerah yang tidak masuk peta rawan banir.
“Kami memandang antisipasi dan kewaspadaan sangat penting mengingat setiap daerah juga memiliki kerawanan yang sama meski secara skala memang berbeda,” tambahnya.
Masih terkait dengan potensi tanah longsor, BPBD Kabupaten Semarang telah memasang piranti sistem peringatan dini di Bukit Gunung Kelir, Desa Wirogomo, Kecamatan Banyubiru.
Karena potensi tanah longsor di Gunung Kelir masih menjadi ancaman nyata bagi warga Desa Wirogomo, memasuki tahun 2016.
“Ketika terjadi pergerakan tanah, yang bisa memicu longsor, sirene akan berbunyi, memberi tanda kepada masyarakat,” kata Kepala BPBD Kabupaten Semarang, Arief Budianto.
Upaya mitigasi bencana di Wirogomo juga telah dilakukan melalui beragam kegiatan. Seperti pelatihan dan simulasi tanggap bencana, pembuatan jalur evakuasi hingga penentuan titik kumpul.
Arief juga mengakui, mitigasi bencana secara lengkap memang baru diterapkan di Wirogomo. Hal ini melihat tingkat kerawanan bencana yang ada di desa ini cukup besar. Karena bukit setinggi 300 meter yang mengelilingi desa ini sudah beberapa kali longsor.
Awal tahun 2015, tebing Bukit Gunung Kelir mengalami beberapa kali pergerakan yang memicu terjadinya tanah longsor. Longsoran tanah tersebut mengancam setidaknya lima dusun di desa ini.
Kendati begitu, bukan berarti wilayah rawan bencana lain tidak ada mitigasi bencana. Kearifan lokal masyarakat ternyata sudah mengajarkan mereka bagaimana siaga dan tanggap bencana.
Seperti patroli keliling pada malam hari, yang ternyata sudah lama dilakukan. Juga penentuan titik kumpul maupun jalur evakuasi sudah dibahas oleh masing- masing kelompok warga di kawasan rawan bencana.
Upaya lain yang dilakukan, BPBD Kabupaten Semarang juga intens melakukan pelatihan kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat. Perwakilan masyarakat di tiap-tiap kecamatan, khususnya mereka yang tinggal di sekitar wilayah rawan bencana, sudah dibekali pengetahuan menghadapi bencana.
Pelatihan ini juga menyasar kalangan perempuan, mengingat mereka lebih banyak tinggal di rumah. “Kami memprediksi, tahun 2016 ini bencana alam masih akan mengintai wilayah kami,” tegas Arief.
Ia juga menyampaikan, pada musim penghujan, kondisi geografis Kabupaten Semarang yang didominasi gunung dan bukit membuat seluruh wilayah berpotensi terjadi tanah longsor.
Namun wilayah yang tingkat kerawanannya cukup menonjol berada di Kecamatan Banyubiru, Getasan, Jambu, Sumowono, Bringin dan sebagian wilayah Kecamatan Ungaran Barat.
“Dari sisi personel dan peralatan, kami juga sudah siap. Koordinasi dan komunikasi dengan BPBD provinsi maupun kecamatan dan pemerintah desa terus kami lakukan guna meningkatkan kewaspadaan,” tambahnya.