‘’Selama masih ada rakyat, masih ada dangdut!’’ Kredo yang dilontarkan oleh Jaja Mihardja ketika membawakan acara ‘Kuis Dangdut’ di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) pada awal dekade 1990-an, kini terbukti adanya. Meski dilanda berbagai prahara, misalnya terpinggirkan karena dianggap musik kaum marginal, kampungan, dan terakhir dituding sebagai musik erotis, dangdut ternyata masih dan makin eksis.
‘’Musik dangdut tak bisa mati. Itu musik rakyat,’’ kata pengamat musik senior, Remy Silado, beberapa waktu silam ketika dimintai tanggapan soal keberadaan musik dangdut di pentas musik tanah air.
Ya itulah musik dangdut hari ini. Di penghujung tahun, melalui kontes menyanyi yang ditayangkan di Indosiar, ‘Dakedmy Asia’, dangdut secara gamblang menegaskan posisi dirinya kembali. Menyimak apa yang dikatakan perancang mode Ivan Gunawan, bila hari ini banyak perancang mode percaya bahwa dangdut punya nilai jual, mereka pun tak segan membalutkan gaun dan pakaian rancangannya kepada para penyanyinya.
‘’Ada kemajuan besar, bila dulu teman saya enggan mengenakan gaun rancangannya kepada penyanyi dangdut, kini malah mereka begitu antusias memberikan karyanya. Inilah yang luar biasa,’’ kata Ivan Gunawan ketika memberikan komentarnya pada kontes menyanyi 'Dakademy Asia' yang ditayangkan di stasiun televisi Indosiar.
Situasi yang terjadi di paruh akhir tahun 2015, memang tak terbayangkan. Kata dangdut yang diangkat dari kata ejekan ‘musik kampungan (maaf,) tai anjing) dari sebutan konyol musisi Bandung pada tahun 1970-an, kini hadir dengan dirinya sendiri. Musisi Rhoma Irama yang dulu memungut dan membesarkan kata ‘dangdut’ hingga seperti sekarang. Hujatan dan cacian (coba simak lagu bertajuk ‘Musik’ karya Rhoma Irama) telah dilaluinya. Bahkan keinginan seorang macan festival di dekade 80-an yang ingin musik dangdut dihapus saja, terbukti tak kesampaian. Dangdut membesar dengan jalur dan takdirnya sendiri.
Jadi seiring dengan makin membaiknya situasi ekonomi negara, yang dicirikan menanjaknya pendapatan rakyat yang menurut data Produk Domestik Bruto (PDB) yang sudah mencapai 400 dolar AS per tahun, maka rakyat Indonesia makin punya jati diri dan alamat sosial budayanya sendiri. Menghibur diri tak perlu ‘mencontek habis’ budaya orang lain atau asing. Dan ini diwujudkan dengan dangdut.
Maka benar menjadi kiranya: Vok Populi Vok Dangdut (suara rakyat suara dangdut)!