REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin mengatakan ada dua hal yang sangat disayangkan dari kelompok Din Minimi di Aceh, pertama mengapa sejak awal tidak taat pada nota perundingan Helsinki yang telah disepakati.
"Dengan tetap tidak mau menyerahkan senjata kepada tim perdamaian, tapi justru dipakai membuat onar di wilayah Aceh," kata TB Hasanuddin di Jakarta, Senin (4/1).
Kedua, menurut jenderal purnawirawan TNI-AD itu, kelompok Din Minimi mengumpulkan dana untuk menyerang bank dan merampok bahkan telah mengakibatkan jatuh korban prajurit TNI, Polisi, dan rakyat Aceh. Menurut dia, apabila pemerintah tetap mau memberi pengampunan bukan melalui amnesti namun tetap di proses hukum dan kemudian diberikan grasi.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan apabila kelompok Din bebas begitu saja maka itu sangat tidak adil karena masih ada ribuan mantan anggota GAM yang dulu bertempur dan kemudian menyerahkan senjata dengan ikhlas lalu sekarang tidak mendapat apa pun. "Mereka justru yang harus kita hormati karena telah berjasa dalam proses perdamaian," ujarnya.
Selain itu, dia menegaskan penyelesaian yang baik agar separatisme tidak muncul kembali di Aceh adalah melalui pendekatan tanpa kekerasan dan dengan musyawarah yang sudah menjadi tradisi masyarakat Aceh.
Sebelumnya Kepala Badan Intelijen Negara atau BIN, Sutiyoso meyakini pemerintah akan memberikan amnesti untuk kelompok bersenjata Din Minimi. Sutiyoso mengaku sudah berkomunikasi dengan Presiden Joko Widodo sebelum berunding dengan Din Minimi.
"Sebelum ini berjalan, saya berkoordinasi dengan Presiden, kan harus saya yakini dulu bahwa ini bisa diproses di kemudian hari, baru kita tawarkan ke dia. Kalau tidak bisa, saya tidak berani lanjut," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/1).
Sutiyoso mengungkapkan, dirinya akan menyampaikan surat terkait amnesti untuk Din Minimi kepada Presiden Jokowi pada hari ini dan selanjutnya surat itu akan diproses oleh Kementerian Hukum dan HAM.