Oleh: Nasaruddin Umar, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan mendasar antara konsep tasawuf yang direpresentasikan Ibn 'Arabi dan Kabbalis yang representasikan Rabbi Gershom Scholem dan Rabbi Moses Luzzato ialah konsep kelanjutan wujud. Dalam pandangan Kabbalis Ein Sof dan Sefirot dan seterusnya ke wujud lanjutan, lebih merupakan fenomena sebab akibat. Sesuatu yang merupakan wujud lanjutan sebagai akibat atau efek dari keberadaan sebelumnya.
Sedangkan dalam perspektif tasawuf (Ibn 'Arabi), keberadaan wujud lanjutan (al-hadharat al-kharijiyyah) lebih merupakan fenomena tajalli. Proses sebab akibat mengisyaratkan adanya pengurangan (tajafi/reduction). Sedangkan, proses tajalli terbebas dari tajafi.
Keberadaan wujud yang banyak dengan Yang Mahawujud dapat diterangkan melalui wujud di depan cermin dan bayangannya di dalam cermin. Seribu cermin akan menangkap gambaran wujud di depannya tanpa mengurangi sedikit pun sang wujud asli di depannya.
(Baca Dulu: Tahmid, Gambaran Kosmologi Islam)
Persamaan antara Tasawuf (Ibn 'Arabi) dan Kabbalis sama-sama memandang Tuhan dan alam semesta bukan fenomena Pencipta (al-Khaliq) dan ciptaan (al-makhluq). Bagi mereka, alam raya bukan wujud ciptaan (maj'ul), melainkan lebih merupakan pancaran atau emanasi dalam wujud keberadaan lanjutan (al-a'yan al-kharijiyyah/external entity).
Itulah sebabnya Ibn 'Arabi lebih suka menggunakan istilah Al-Haq untuk Allah SWT dan al-khalq untuk apa yang disebut teolog dengan makhluk. Ungkapan Kabbalis: All the safirot are nothing but the Light of the infinite Himself (Semua aspek Sefirot pada hakikatnya tidak ada, yang ada hanyalah Cahaya dari ketakterbatasan-Nya sendiri). Istilah ini juga tidak memperkenalkan relasi Tuhan dan makhluk, tetapi relasi antara Prima Kausa atau Penyebab Utama (the First Cause) dan wujud lanjutan (the ontinum effect).
Kosmologi tasawuf memandang alam adalah bagian yang tak terpisahkan dengan Allah SWT. Alam sesungguhnya tidak lain adalah 'wujud lanjutan' (al-a'yan al-kharijiyyah) sebagai konsekuensi keberadaan al-Asma' al-Husna' dalam al-Hadharat al-Wahidiyyah.
Tidak ada artinya kita berbicara alam raya tanpa berbicara dengan Tuhan. Tidak mungkin segala sesuatu yang terdapat alam ini tidak mempunyai "jejak Tuhan." Inilah makna dari ayat: Fa ainama tuwallu fa tsamma wajhullah (maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (QS al-Baqarah [2]:115).
Kosmologi Islam menganggap alam ini sebagai "bagian dari dirinya" dan manusia tidak boleh melakukan perusakan di dalamnya. Manusia memang ditunjuk sebagai khalifah di bumi (khalaif al-ardl) dan diberikan hak taskhir, yaitu penundukan alam semesta (QS al-Hajj [22]:65).
Konsep taskhir dalam kosmologi Islam perlu dikaji karena sering kali orang keliru memaknai konsep taskhir lalu menyebabkan terjadinya bencana alam yang menyebabkan jatuhnya korban manusia. Konsep taskhir dalam Islam mempunyai prasyarat. Alam raya akan tunduk (taskhir) sepanjang manusia menjalankan fungsi kekhalifahannya dengan baik dan benar.
Manakala manusia menyimpang atau melampaui batas (israf), alam raya tidak lagi punya kewajiban tunduk kepada manusia. Bahkan, alam raya yang menghukum manusia. Ketika manusia melupakan dirinya sebagai hamba dan khalifah yang harus memakmurkan bumi, namun mereka melakukan eksplorasi alam yang melampaui ambang daya dukungnya, dan sesama mereka saling menghujat dan menyebabkan pertumpahan darah (QS al-Rum [30]: 41).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep al-hamdu lillahi Rabb al-'alamin yang diawali dengan konsep basmalah (Bismillah al-Rahman al-Rahim), menggambarkan konsep kosmologi Islam. Alam, manusia, dan Tuhan tiga wujud kesatuan yang tak daat dipisahkan satu sama lain. Memisahkan satu sama lain memiliki konsekuensi logis, yang akan dibahas di dalam ayat berikutnya: Maliki yaum al-din (Yang Menguasai hari pembalasan). Allahu a'lam.