REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terkait dengan pemberitaan yang diturunkan Republika.co.id, salah seorang pendiri SGRC-UI, Firmansyah menyampaikan sejumlah keberatannya. Adapun hal yang menjadi keberatannya, Firmansyah yang sudah membuat pengakuan kalau dirinya memang seorang gay, menjelaskannya sebagai berikut:
Saya Firmansyah dan Benar sebagai Co-Founder SGRC UI
Ramainya pemberitaan di media akhir-akhir ini mengenai siapa saya, mengapa saya dan teman-teman mendirikan Support Group and Resource Center on Sexuality Studies Universitas Indonesia (SGRC UI), dan apa kaitan dari hal tersebut dengan LGBT, membuat saya tergugah untuk membuat tulisan ini.
Selain itu, dorongan untuk mengklarifikasi apa yang saya dan organisasi saya (SGRC UI) lakukan menjadi sangat dibutuhkan sebagai bentuk pencerdasan masyarakat karena fungsi tersebut dengan amat disayangkan, telah hilang dari salah satu media massa nasional negeri ini, yang beralih pada aspek komersial dengan hanya mengedepankan judul dan isi berita yang kontroversial untuk mencapai rating tinggi tanpa mengecek kebenaran isinya.
Bahkan yang kami tidak habis pikir, koran nasional sekelas Republika membuat headline dengan judul ‘Pengakuan Mahasiswa UI: Kelompok LGBT dan Tewasnya Akseyna’, namun isi dari berita tersebut adalah tentang LGBT Peer Support Network. Tidak hanya dari judul yang mengalami sesat pikir, isi dari artikel tersebut pun tidak sesuai fakta. Organisasi kami, SGRC UI didefinisikan sebagai ‘Organisasi atau komunitas bagi kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di kalangan mahasiswa, mahasiswi, dan para dosen.’ (Republika, 22 Januari 2016).
Saya, Firmansyah, salah satu dari beberapa orang yang terlibat dalam pendirian SGRC UI menolak jika lingkup kajian organisasi kami dikerdilkan sedemikian rupa. Tercantum dalam mission statement organisasi kami (https://sgrcui.wordpress.com/perihal/mission-statement/) bahwa organisasi ini bergerak dalam lingkup kajian seksualitas, reproduksi, dan orientasi seksual.
Seminar eksternal pertama kami yang mengangkat topik Seksualitas dan Kebebasan dengan pembicara Zoya Amirin dan Rocky Gerung, mendapat sambutan yang baik di kalangan civitas academica UI dan umum. Terbukti pada hari itu, Jumat tanggal 13 Februari 2015, Auditorium Gedung X FIB penuh sesak, bahkan tidak muat menampung antusiasme peserta seminar yang datang.
Selain itu, SGRC UI juga pernah mengadakan seminar Kartini dan Kebebasan yang mengangkat konsep feminisme modern yang lahir dari budaya Indonesia, Pelatihan Pencegahan Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Kampus dengan modul yang dapat diakses melalui laman http://bit.ly/ModulSGRCUI yang publikasi acaranya dibantu oleh Humas Universitas Indonesia melalui akun Twitter @UIUpdate, dan masih banyak kegiatan lain yang dijalankan dan dipublikasikan dari tahun awal terbentuk hingga saat ini.
Keputusan SGRC UI untuk bekerjasama dengan Melela.org dalam membuat LGBT Peer Support Network bukanlah dibuat tanpa pertimbangan yang matang. Kami sadar akan resiko tinggi dari kegiatan tersebut, terbukti dengan ramainya media menyoroti organisasi kami akhir-akhir ini.
Alasan kami membuat LGBT Peer Support Network adalah karena fakta bahwa remaja LGBT di Indonesia rentan mengalami bunuh diri akibat penolakan dan diskriminasi dalam masyarakat. Di beberapa jurnal ilmiah internasional, remaja LGBT yang mendapatkan penolakan keluarga pada masa remaja dan perkembangan 8,4 kali lebih rentan bunuh diri, 5.9 kali lebih rentan mengalami depresi, dan 3,4 kali lebih mungkin menggunakan narkoba dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan penolakan keluarga (Ryan, C. et al: 2009).
Untuk menghindari resiko bunuh diri, depresi, dan penggunaan narkoba, remaja LGBT membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Remaja yang mendapatkan informasi terkait dengan seksualitas dirinya, baik dari majalah, buku, ataupun konseling memiliki rasa percaya diri yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mendapatkan hal tersebut (Snapp, Shannon D. et. al.: 2015).
Selain itu, resiko kekerasan juga rentan terjadi terhadap kelompok LGBT. Organisasi Arus Pelangi pernah menerbitkan hasil penelitian mengenai kehidupan remaja LGBT. Dalam temuan riset tersebut, 65,2% LGBT mencari pertolongan ke teman mereka ketika mendapatkan penindasan dan kekerasan, sementara hanya 18,7% yang mencari pertolongan kepada keluarga.
Oleh karena itu, muncul ide mengenai Peer Support Network yang menyediakan pertolongan berbasis pertemanan, relevan dengan kebutuhan komunitas. Menurut penelitian ini, angka terbesar dari kekerasan, yakni 46%, datang dari orang yang tidak mereka kenal. Bagi saya hal ini sangat menarik. Kekerasan datang dari rasa ketidaksukaan, tetapi untuk merasa tidak suka, bukankah seseorang harus mengenal orang lain terlebih dahulu sebelum memutuskan rasa suka atau tidak suka? Akhir kata, janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil.
Terima kasih.