REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Umat Hindu Dharma di Bali merayakan hari suci Galungan, hari raya terbesar dalam memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan) dengan penuh khidmat, Rabu (10/2).
Umat Hindu baik pria, wanita dan anak-anak dengan mengenakan busana adat nominasi warna putih dan wanita menjunjung sesajen (sesaji) pergi ke Pura atau tempat suci keluarga (merajan) untuk mengadakan persembahyangan. Suasana kota Denpasar dan daerah pedesaan di Bali tampak cukup semarak, karena sepanjang jalan dihiasi dengan penjor sebagai lambang kemakmuran.
Jalan-jalan raya sepanjang kota Denpasar tampak sepi dan lenggang, karena seluruh perkantoran instansi pemerintah dan swasta di Bali libur (fakultatif) selama tiga hari berturut-turut,9-11 Februari 2016.
"Umat Hindu pada hari Suci Galungan itu wajib melakukan introspeksi diri, agar sadar dan mengetahui, kebenaran yang sejati, karena kebenaran itu tetap ditegakan," kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali Prof Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Dengan demikian umat Hindu diharapkan mampu meningkatkan sikap toleransi dan memantapkan kerukunan hidup antarumat beragama, yang selama ini hidup harmonis berdampingan satu sama lainnya. Umat Hindu dalam merayakan Hari Suci Galungan dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat bimbingan, tuntunan dan perlindungan, dengan harapan tetap pada jalan yang benar sesuai ajaran Dharma.
Hari suci Galungan selain bermakna memperingati kemenangan Dharma atas Adharma juga memberikan keheningan atas kemakmuran dan kesejahteraan yang dilimpahkan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Hari Kemenangan Dharma sekaligus kebangkitan, tangga menuju pemusatan pikiran dan kesucian diri, agar umat manusia dalam menjalani kehidupan benar-benar suci dan bersih. "Pikiran suci akan mampu menghilangkan semua pengaruh yang bisa membawa dampak negatif," harap Gusti Ngurah Sudiana.
Ia juga mengingatkan, umat Hindu tidak menghamburkan uang saat merayakan Galungan, namun didasari atas kemampuan ekonomi karena yang mendesak diperhatikan adalah kebutuhan pokok, kelangsungan pendidikan putra-putrinya, dan aspek kehidupan lain yang lebih penting.
Tidak ada batasan seseorang dalam merayakan ritual Galungan harus menyuguhkan buah impor atau kue yang berstandar, namun didasarkan atas keiklasan sesuai dengan kondisi ekonomi yang dimilikinya, ujar Gusti Ngurah Sudiana..