REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah memulai tradisi baru dalam pelantikan tujuh gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil Pilkada serentak. Sebelum dilantik, mereka mengikuti serangkaian upacara kenegaraan di Istana Merdeka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjelaskan, adanya prosesi kenegaraan sebelum upacara pelantikan menjadi penegasan bahwa gubernur dan wakil gubernur adalah tangan kanan Presiden sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah.
"Yang diharapkan Presiden, gubernur itu harus satu komando dengan presiden," kata Tjahjo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (12/2).
(Baca juga: Pelantikan Gubernur yang tak Biasa)
Prosesi kenegaraan dimulai saat pasangan gubernur dan wagub satu per satu tiba di Istana Merdeka. Saat menginjakkan kaki di anak tangga pertama Istana Merdeka, mereka disambut oleh Pasukan Pengawal Protokoler Kenegaraan.
Kemudian, prosesi dilanjutkan dengan penyerahan petikan surat Keputusan Presiden (Keppres) di Ruang Kredensial Istana Merdeka. Keppres diserahkan langsung oleh Jokowi pada masing-masing gubernur dan wagubnya. Prosesi seperti itu mirip dengan upacara penyerahan surat-surat kepercayaan duta besar negara-negara sahabat.
Selanjutnya, tujuh pasang gubernur-wakil gubernur beserta Presiden, Wapres dan Mendagri berjalan bersama-sama menuju Istana Negara sambil diiringi Pasukan Protokoler Pengawal Kenegaraan. Di Istana Negara itu lah pelantikan akan digelar.
Tjahjo menyebut, prosesi kenegaraan tersebut merupakan sebuah kehormatan bagi para gubernur dan wakil gubernur. Mereka dimuliakan lewat sebuah upacara terhormat yang diberikan Presiden. Setelah diberikan kehormatan lewat upacara kenegaraan, gubernur diharapkan setia dengan komando Presiden.
"Tujuannya dilantik oleh presiden agar hubungan tata kelola pemerintah pusat dan daerah lebih efektif, efisien, taat hukum dalam pemerintahan presidensial," ungkap dia.
Para gubernur dan wakil gubernur memang berasal dari partai politik yang berbeda. Namun, kata Tjahjo, ketika sudah dilantik sebagai pejabat publik, mereka wajib menjalankan pembangunan sesuai dengan visi-misi Presiden. Jika kepala daerah membangkang, sambung Mendagri, ada sanksi yang dapat diberikan.
"Ada aturannya bahwa Mendagri bisa mengusulkan pemberhentian. Bahkan bisa ditahan Dana Alokasi Umumnya," kata Tjahjo.