Jumat 19 Feb 2016 09:47 WIB

Murka Allah pada Kaum Menyimpang

Rep: c39/ Red: Muhammad Subarkah
 Ilustrasi penderita homoseksual.
Ilustrasi penderita homoseksual.

REPUBLIKA.CO.ID, Masyarakat Indonesia saat ini tengah ramai memperbincangkan kaum menyimpang, khususnya LGBT. Persoalan ini dalam Islam sudah dibahas sejak lama. Namun, saat ini sebagian masyarakat kadang membenturkannya dengan penegakan HAM.

Terlepas dari itu, untuk mengetahui pandangan Islam tentang kaum menyimpang, inilah firman Allah yang perlu diresapi. "Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak mereka. Mereka adalah orang-orang yang tidak tercela. Barang siapa mencari (kepuasan seksual) di luar yang tersebut tadi, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS al-Mu’minūn ayat 5-7).

Menurut al-Qasimi dan al-Alusi, yang dimaksud dengan melampaui batas adalah melakukan dosa besar secara sempurna. Dengan berpegang teguh pada pemahaman ayat tersebut, semua jenis penyimpangan yang dilakukan oleh kaum bencong dan lesbian adalah dosa besar atau zina. Sebab, teman kencan mereka bukanlah istri atau budaknya.

Di samping ayat ini, ada juga ayat lain yang secara khusus melarang penyimpangan tertentu. Contoh yang gampang adalah apa yang difirmankan Allah dalam surah an-Naml ayat 55 . Dalam ayat ini, Allah mengancam dan murka terhadap kaum Nabi Luth yang melampiaskan syahwatnya kepada sesama lelaki.

Dalam hadis, Nabi juga secara tegas melarang homoseksual. Nabi bersabda, "Jika seorang lelaki ‘menaiki’ sesama lelaki, maka arasy guncang lantaran takut murka Allah. Hampir saja langit runtuh gara-gara perbuatan itu. Para malaikat pun berpegang pada ujung langit sambil membaca qul huwa Allah Ahad (surah al-Ikhlas) sehingga murka Allah reda kembali." (al-Kabir, hlm 57).

Tentang lesbianisme, Nabi juga pernah bersabda bahwa ada tiga kelompok yang tidak diterima syahadatnya, yakni lelaki homoseks dan wanita lesbian. Dengan demikian, homoseksual dan lesbian sudah jelas haram dalam pandangan Islam.

Hukuman bagi umat Islam yang berbuat demikian, minimal mereka wajib ditakzir, yaitu hukuman yang bersifat pendidikan atas maksiat yang hukumnya belum ditetapkan syara'. Bahkan, bagi pelaku liwath (memasukkan zakar ke dalam dubur) wajib diberikan hukuman had atau hukuman yang sudah ditentukan agama.

Sementara, yang berhak memberikan sanski kepada mereka adalah ulil amri, yakni orang yang mempunyai wewenang dalam bidangnya, termasuk pejabat dan ulama atau kiai.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement