REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto mengatakan, pihaknya belum menerima surat presiden (surpres) soal revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Agus menilai, pemerintah terlalu terburu-buru kalau sudah mengeluarkan surpres soal revisi UU KPK. Sebab, proses revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR belum selesai.
"Terburu-buru seperti ini, ya akhirnya menjadi lebih tidak keruan lagi," ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (19/2).
Ia melanjutkan, seharusnya surpres baru keluar kalau DPR sudah mengirimkan surat pada Presiden Joko Widodo setelah revisi UU KPK disetujui menjadi inisiatif DPR.
Kalau saat ini sudah ada surpres untuk membahas revisi UU KPK, akan sia-sia. Sebab, DPR sendiri belum menyetujui apakah revisi UU KPK akan disepakati menjadi inisiatif dari DPR RI dalam sidang paripurna.
Terlebih, revisi UU KPK adalah UU yang sangat sensitif untuk dibahas. Menurut politikus Partai Demokrat ini, masih banyak pro-kontra terkait rencana revisi UU KPK.
Bahkan, sikap Demokrat sendiri masih menolak terhadap draf yang ada di revisi UU KPK yang terakhir. Menurutnya, empat poin revisi yang diajukan pengusul bukan untuk memperkuat kewenangan KPK, melainkan membatasinya.
"Mayoritas masyarakat belum menyetujui sehingga harus menguatkan dari KPK. Empat poin revisi, Demokrat belum atau tidak menyetujuinya," katanya menegaskan.
Agus melanjutkan, seharusnya pemerintah menunggu hasil dari pembahasan rencana revisi UU KPK menjadi inisiatif dari DPR RI. Kalau memang sudah disetujui oleh DPR sebagai RUU inisiatif dewan, pemerintah dapat mengeluarkan surpres.
Namun, kalau tidak, pemerintah tidak perlu mengeluarkan surpres. Pemerintah, kata Agus Hermanto, harusnya mengetahui sistem pembahasan RUU.