REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro mengatakan, di era keterbukaan, aliran dana gelap (illicit financial flow) masih menjadi momok bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Sayangnya, fenomena tersebut menurutnya belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal, aliran dana yang tidak sah ini sangat berpengaruh terhadap kondisi fiskal dan moneter dalam negeri.
"Aliran dana gelap sudah menjadi fenomena gunung es. Di dunia, fenomena ini sudah menjadi konsen yang luar biasa, tapi di Indonesia, pemerintah kurang aware terhadap hal ini," kata Setyo di Cikini, Jakarta, Sabtu (20/2).
Fenomena tersebut menurutnya, selain membuat penerimaan negara melalui pajak menguap, juga likuiditas keuangan pun dapat tersedot. Keadaan ini membuat hilangnya sebagian besar modal untuk mendorong kegiatan ekonomi yang mampu meningkatkan layanan publik.
Setyo memaparkan hasil penelitian Global Financial Integrity yang mencatat aliran dana gelap di negara-negara berkembang mencapai 1,1 triliun dolar Amerika Serikat di tahun 2013. Jika dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya, keadaan ini menunjukan peningkatan sekitar 2,3 kali lipat.
Apabila diakumulasikan, negara-negara berkembang telah kehilangan sekitar 7,8 triliun dolar Amerika Serikat selama kurun waktu 2004-2013 akibat aliran dana gelap tersebut.
Sehingga, dengan pertumbuhan aliran dana gelap yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi, jelas sangat merugikan ekonomi di negara-negara berkembang tersebut.