REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Turunnya harga minyak dunia dua tahun terakhir tidak lantas membuat pengembalian biaya operasi migas atau cost recovery kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau perusahaan minyak dan gas nasional ikut susut. Padahal, dengan cost recovery yang tetap keluar dengan angka yang tak berkurang, penerimaan negara sektor migas terus berkurang, menyusul harga minyak dunia yang anjlok. Anjloknya harga minyak dunia membuat produksi menurun.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi menjelaskan, cost recovery didapat dari gross production dikurangi dengan first trans petroleum (FTP) untuk pemerintah, dan sisanya dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan.
"Kemudian ada profit share, dibagi pemerintah dan KKKS. Di sini diakumulasikan dengan pajak maka jadi bagian negara," kata Amien, Senin (22/2).
Ia menambahkan, pada tahun terjadinya produksi, biasanya ada biaya capital dan juga drilling yang tangible dan operasi. Dari kegiatan ini, yang masuk ke komponen cost recovery adalah biaya depresiasi terhadap pengeluaran modal.
Selain itu, biaya driliing juga masuk ke cost recovery. Biaya operasi awal juga masuk ke biaya cost recovery dan ada biaya-biaya operasi tahun berjalan yang masuk ke komponen cost recovery.
"Jadi cost recovery didapat dari biaya-biaya yang dikeluarkan di tahun berjalan ditambah biaya yang didepresiasikan dari biaya di tahun sebelumnya. Mungkin ini menjadi salah satu faktor pada waktu lifting menurun tapi cost recovery belum bisa langsung turun," kata dia.
Artinya, meski harga minyak saat ini anjlok, tidak serta merta cost recovery ikut turun. Sederhananya, biaya-biaya terdahulu masih ditanggung oleh pemerintah untuk dikembalikan kepada KKKS.
"Di tahun berikutnya lifting menurun, beban cost recovery nggak otomatis menurun karena ada beban dari tahun sebelumnya. Dari seluruh pengeluaran tidak langsung di cost recovery-nya. Tergantung kapan lapangan onstream," kata Amien.