REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepala Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) Muhidin menyayangkan penggusuran kuburan warga oleh PT Sanggar Argo Persada untuk perluasan tanaman kayu putih.
"Ini yang kami sayangkan, demi izin perluasan menanam kayu putih mereka telah semena-mena menggusur kuburan dan merusak lahan pertanian warga yang sudah ditanami kacang dan jambu mente," kata Muhidin, di Mataram, Senin (29/2).
Ia menuturkan, perlakuan semena-mena PT Sanggar Argo Persada tersebut sejak perusahaan asal Jakarta itu mendapatkan izin prinsip oleh mantan Bupati Bima H Syafrudin untuk mengelola kawasan hutan di kaki Gunung Tambora seluas 4.586 hektare. Namun ternyata mereka juga masuk hingga ke dalam kawasan hutan adat desa setempat.
"Sebagai warga negara kita taat terhadap aturan hukum, tetapi aturan dan prosedurnya harus jelas. SK bupati yang mengeluarkan izin prinsip pada tahun 2015 untuk mengelola kawasan itu kami anggap tidak sesuai, mengingat yang boleh mengeluarkan izin itu seharusnya pemerintah pusat bukan bupati," ujarnya lagi.
Menurut dia, dampak SK bupati itu, pihak perusahaan melarang menggarap lahan perkebunan dan pertanian. Padahal, terdapat 1.871 jiwa masyarakat Desa Oi Katupa yang menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun di kawasan tersebut. "Belum lagi masyarakat kami harus kehilangan air bersih, karena aliran air yang dibuat oleh warga secara swadaya harus diputus pihak perusahaan secara sepihak. Padahal air itu merupakan satu-satunya yang mengalir ke desa setempat," kata dia.
Muhidin meminta pemerintah pusat dan Pemprov NTB turun tangan mengatasi permasalahan tersebut. Pihaknya meminta agar pemerintah mencabut izin prinsip PT Sanggar Argo Persada.
Tokoh pemuda Desa Oi Katupa Kecamatan Tambora Kabupaten Bima Sarifudin menyesalkan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan PT Sanggar Argo Persada.
Menurut dia, tindakan yang dilakukan pihak perusahaan adalah perampasan terhadap hak-hak warga, karena telah merusak tanaman pertanian, menggusur kuburan, bahkan melarang setiap warga untuk melintas.
"Sebetulnya kami juga bertanya kenapa lahan yang awalnya diberikan 500 hektare tiba-tiba berubah menjadi 4.000 hektare lebih. Selain itu, awalnya mereka meminta izin untuk peternakan, tetapi juga berubah untuk menanam kayu putih," katanya lagi.
Ia menambahkan, sebelum peristiwa ini, warga dan aparat desa sudah berkomunikasi dengan Pemkab Bima. Bahkan pertemuan dilakukan hingga delapan kali. Tetapi hasilnya tidak menemukan solusi.
"Kami menilai ada upaya pembiaran yang dilakukan pemerintah daerah. Padahal, pada lahan itu kami memiliki lahan garapan dan kami tidak merusak fungsi kawasan di Tambora," ujarnya.
Karena itu, ia meminta agar pemerintah provinsi membantu nasib warga setempat. Dia juga berharap agar pemprov melalui dinat terkait turun ke lepangan melakukan verifikasi faktual, sehingga permasalahan warga dapat diselesaikan.