REPUBLIKA.CO.ID, MANONJAYA -- Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII, wilayah Sukapura yang merupakan wilayah kekuasaannya dibagi menjadi tiga wilayah. Diantaranya, Sukapura Kolot, Sukapura dan Tasikmalaya. Wilayah Sukapura memiliki luas sekitar 260.000 hektare.
Pada 1831 jumlah penduduk wilayah Sukapura ada sebanyak 4.687 warga pribumi, 22 orang warga keturunan China dan enam orang warga asing. Di 1832, Raden Wiradadaha memindahkan Ibu Kota Sukapura. Dari catatan sejarah yang dimiliki Juru Pelihara Masjid, Ibu Kota dari Leuwiloa di Sukaraja hendak dipindahkan ke Harjawinangun (kini menjadi Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya).
Akan tetapi, untuk membangun ibu kota membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Pada masa itu, pembangunan ibu kota dipimpin oleh Patih Raden Tumenggung Danuningrat. Ia mempunyai tugas untuk membangun Ibu Kota Sukapura di tempat yang baru.
Pada tahun 1834 baru secara resmi Ibu Kota Sukapura pindah ke Harjawiangun. Raden Danuningrat dalam merencanakan tata ruang Kota Harjawinangun berpedoman pada Masjid Kecil. Masjid tersebut telah ada sebelum pembangunan Masjid Agung Manonjaya.
"Masjid tersebutlah cikal bakal Masid Agung Manonjaya saat ini," kata Rusliana.
Adanya Masjid kecil tersebut menandakan pada masa itu pemeluk agama Islam telah banyak di wilayah Sukapura. Adanya Masjid Agung Manonjaya memiliki peran penting. Karena pada masa lalu banyak kegiatan keagamaan yang dilakukan di Masjid tersebut.
Selain itu, keberadaan Masjid juga membuat masyarakat semakin mudah menjalankan sholat berjamaah dan melakukan kegiatan keagamaan lainnya. Seiring populasi penduduk terus bertambah, Masjid juga mengalami pelebaran di tahun 1837. Kemudian ditambah dengan membuat alun-alun di depan masjid.
Sampai saat ini bangunan inti Masjid Agung Manonjaya tetap seperti saat pertama kali dibangun. Hanya saja ada pelebaran serambi yang dilakukan pada tahun 1889 oleh Raden Tumenggung A Wiraatmaja. Setelah itu masyarakat memutuskan untuk tidak merubah postur bangunan Masjid lagi.
Masjid juga pernah rusak akibat gempa pada 1977. Sehingga serambi Masjid rusak. Kemudian dilakukan pembaharuan, tapi dengan membuat bentuk persis seperti semula saat dibangun. Tidak ditambahi atau pun dikurangi.
Alun-alun yang dibuat sejak 1837 sampai saat ini masih ada. Sering digunakan anak-anak dan warga sekitar untuk bermain. Kini, banyak para pedagang keliling, tukang becak dan masyarakat yang sedang bepergian singgah di Masjid Agung Manonjaya.
Menurut mereka yang sering singgah, Masjid Agung Manonjaya selain memiliki arsitektur yang unik juga sangat nyaman. Salah seorang warga Cineam Kabupaten Tasikmalaya yang singgah, Maman (55 tahun) mengatakan, serambi Masjid yang luas berhiaskan puluhan tiang penyangga sangat nyaman untuk tempat beristirahat dan menunggu waktu sholat.
Dibelakang Masjid terdapat bangunan tempat anak-anak belajar mengaji dan membaca kitab. Ustaz Zam zam yang menjadi juru kunci Masjid juga menjadi guru mengaji anak-anak. Pada tahun 2012, banyak Mahasiswa yang ingin ikut belajar membaca kitab di sana.
Masjid Agung Manonjaya tepatnya terletak di Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat. Kini, Masjid bersejarah tersebut menjadi kebanggaan warga Tasikmalaya.