REPUBLIKA.CO.ID, BETHLEHEM -- Wakil Presiden AS, Joe Biden mendarat di Tel Aviv untuk menemui Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, Rabu (9/3). Kunjungan Biden ini setelah Netanyahu membatalkan pertemuannya dengan Obama karena perbedaan pandangan Presiden AS tersebut.
Dalam pertemuan dengan Netanyahu ini, Biden menegaskan komitmen dukungan AS kepada Israel. Namun Biden mengingatkan Israel tidak bisa menghentikan aksi kekerasan Palestina dengan kekuatan senjata.
"Jenis kekerasan yang kita lihat kemarin, adalah kegagalan kita menghukumnya, retorika yang kembali menghasut kekerasan demi kekerasan harus berhenti," kata Biden yang mengkritik Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Fatah, dilansir dari Maan News, Rabu.
Biden menuduh kepemimpinan Abbas telah menghasut kekerasan baru yang kembali terjadi pada warga Palestina. Ia pun meminta Palestina menghentikan hasutan ini, dan meminta Israel tidak membalas dengan kekerasan fisik kembali.
Kunjungan Biden dilakukan setelah Netanyahu secara sepihak membatalkan pertemuannya dengan Obama di Gedung Putih. Media Israel menuduh Gedung Putih tidak bisa mengatur pertemuan Netanyahu dan Obama.
Namun pihak Gedung Putih membantah hal ini. Sekretaris Media Gedung Putih, Jon Earnest pada Selasa membatah aksi Netanyahu ini bagian dari penghinaan terhadap AS. Earnest beralasan batalnya pertemuan ini karena ini hanya persoalan penjadwalan.
Earnest menambahkan kunjungan Biden ini bukti akan tetap memperkuat hubungan AS dan Israel. Tapi ditegaskan dia, Biden tidak dalam rangka menegosiasikan bantuan militer AS untuk Israel. Karena bahasan ini akan menimbulkan kontroversi di kedua belah pihak dalam beberapa bulan terakhir.
Walaupun media Israel menyebut Netanyahu mendorong Biden agar menandatangani kontrak baru untuk bantuan militer, yang sempat gagal pada Februari lalu. Namun Netanyahu menegaskan bila Obama tetap tidak ingin menandatangani kontrak baru bantuan militer ke Israel, ia akan menunggu terpilihnya presiden AS yang baru akhir tahun ini.
Israel memina bantuan militer senilai 5 miliar dolar AS kepada Obama, jauh melebihi kesepakatan 3 miliar dolar AS yang telah disetujui hingga akhir 2018. Namun jumlah ini menimbulkan perselisihan diantara Obama dan Netanyahu, yang membawa perselisihan ini ke jalur diplomatik. Walau demikian, Israel tetap merupakan negara nomor satu penerima bantuan militer AS terbesar.