Jumat 18 Mar 2016 22:19 WIB

Pengetatan Jalur Independen tak Harus Tambah Jumlah KTP

Rep: Lintar Satria/ Red: Karta Raharja Ucu
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS) Guspiabri Sumowigeno mengatakan di tengah fenomena kemunculan elemen fundamentalis kelompok keagamaan, eksisnya separatisme dan infiltrasi kepentingan asing melalui lembaga swadaya masyarakat, diperlukan pengetatan bagi calon perseorangan.

Namun, tambahnya, pengetatan itu tidak melulu harus melalui syarat minimal jumlah dukungan publik/KTP yang menjadi tanggung jawab KPU dalam memverifikasinya. “Tetapi UU Pilkada hasil revisi juga harus mengatur kehadiran sebuah Komite Pengawas Pimpinanan Daerah dari Jalur Perseorangan yang dibentuk Pemerintah Pusat atau Kemendagri,” katanya saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (18/3).

Guspiabri mengatakan pada tahap awal Pilkada, Komite Pengawas Pimpinanan Daerah dari Jalur Perseorangan dapat membentuk panel dengan ditambah dengan unsur Lemhanas dan akademisi yang mengundang semua kandidat dari jalur perseorangan. Setiap calon, tambahnya, akan menjalani sebuah proses hearing yang terbuka.

Ia menambahkan tugas Komite Pengawas Pimpinanan Daerah dari Jalur Perseorangan ini, melakukan penelitian terhadap integritas ideologis, wawasan kebangsaan, komitmen calon perseorangan terhadap etika politik dan konstitusi negara, dan lain-lain hal yang relevan. Komite ini yang memberikan clearence untuk seorang calon perseorangan bisa maju dalam Pilkada.

Guspiarbir mengusulkan komite ini memiliki otoritas untuk merekomendasikan pencoretan seorang calon yang dinilai tidak memenuhi persyaratan kepada Mendagri. Seperti calon yang suka mengumbar kata-kata tidak santun dimuka publik.

Dalam budaya Jawa dan Indonesia pada umumnya, pemimpin itu harus seseorang yang halus tata bahasanya. Bukan sekedar bisa memenuhi syarat jumlah KTP pendukung, lugas, pintar atau bersih.

“Saya melihat hadirnya Komite Pengawas Pimpinan Daerah dari Jalur Perseorangan sebagai bagian dari UU Pilkada hasil revisi ini penting, agar proses demokrasi tidak disusupi oleh mereka yang bisa mempromosikan nilai-nilai yang merugikan negara atau merusak sistem nilai,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement