REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN – Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Nusron Wahid menyampaikan secara tegas instansinya tidak mampu menangani kasus berat terkait tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pasalnya penyelesaian masalah tersebut harus dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak.
“Kalau kaya gini bukan BNP2TKI. Jujur saja kita ngak mampu. Semuanya harus bergerak. Bahkan melalui Menteri dan Presiden,” tutur Nusron, Kamis (31/3). Menurutnya penyelesaian kasus berat TKI di setiap negara harus melalui metode yang berbeda.
Misalnya di Timur Tengah, TKI yang terjerat hukuman mati baru bisa dilepaskan apabila pihak keluarga penggugat mengampuni. Jika keluarga tidak mengampuni, maka jalan yang dapat ditempuh adalah negosiasi tokoh untuk membujuk pemberian maaf kepada TKI.
Jika tidak dimaafkan juga, maka Presiden harus mengirim surat permohonan maaf. Sementara jalan terakhir untuk membebaskan TKI adalah menebus denda. “Tapi bayak denda ini langkah terakhir,” kata Nusron.
Ia menuturkan, saat ini BNP2TKI mencatat kasus berat di dua negara. Pertama, di Korea sebanyak dua orang. Mereka dipenjarakan karena diduga masuk dalam gerakan ISIS. Kedua, enam kasus di Arab Saudi. Di mana TKI terancam hukuman mati atas dugaan tindak kriminal.
Adapun permasalahan berat yang selama ini dialami TKI, kebanyakan terjadi pada pembantu rumah tangga (PRT). Maka itu, pemerintah telah menerapkan moratorium pengiriman PRT ke luar negeri. “Tapi tiap bulan masih ada delapan ribu PRT yang ke luar negeri. Alasannya macam-macam, misal jadi cleanin service,” ujar Nusron.
Dalih yang digunakan cukup beragam. Seperti umroh, berziarah, dan sebagainya. Namun begitu, menurut Nusron kondisi ini masih lebih baik dari sebelumnya. Sebab pada 2010, jumlah PRT ke luar negeri mencapai satu juta dua ratus ribu.