REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus kematian terduga teroris asal Klaten, Siyono, menambah rapor buruk Kepolisian di mata publik. Untuk itu, diperlukan lembaga independen yang secara khusus mengawasi Kepolisian.
Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain mengatakan, harus ada sistem yang khusus menjaga Kepolisian. Sistem itu harus dapat dikelola dengan baik.
Pasalnya, ia merasa saat ini sudah sangat sulit mempercayai sebuah institusi bernama Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta mencari Polisi yang benar-benar bersih. "Patung Polisi saja berdebu apalagi polisi," kata Bahrain, Jum'at (1/4).
Ia menekankan perlunya progres lain yang didapatkan negara dalam pembenahan terhadap institusi Kepolisian di Indonesia. Menurut Bahrain, jangan sampai publik semakin meyakini kriminalisasi akan terus menimpa orang-orang, yang melawan sebuah investasi di Indonesia.
Terkait kasus kematian Siyono, ia mengingatkan institusi Kepolisian untuk tidak merasa diri mereka sebagai tentara, termasuk kepada Detasemen Khusus (Densus) 88. Sebab, lanjut Bahrain, seorang Polisi dilarang menggunakan prinsip perang Tentara, yang harus membunuh jika tidak ingin dibunuh.
Baca juga, Keluarga Terduga Teroris Siyono Tuntut Keadilan.
Bahrain menegaskan, Densus 88 bukan institusi penegak hukum yang harus mengakhiri sebuah operasi dengan kematian, apalagi memberi uang santunan. Ia turut mempertanyakan dana dari dua tumpukan uang santunan, yang kalau dari APBN atau APBD dapat diartikan sebagai legalitas membunuh rakyat dari negara.