REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menyatakan akan mendahulukan opsi berdialog dengan kelompok militan Abu Sayyaf di perairan Filipina yang menyandera sepuluh anak buah kapal asal Indonesia.
"Sekali lagi yang terakhir ini opsi dialog tetap didahulukan untuk menyelamatkan yang disandera," kata Presiden Joko Widodo ditemui di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta pada Ahad (3/4) malam.
Menurut Presiden, pemerintah juga tetap menyiapkan pasukan reaksi cepat di Tarakan, Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan operasi jika diperlukan. Kendati demikian, Presiden kembali menegaskan pasukan militer Indonesia tidak bisa melakukan tindakan di perairan negara lain tanpa izin.
"Saya pantau terus baik mulai latihan, mulai simulasi kalau diperlukan. Tetapi untuk masuk ke wilayah negara lain harus ada izin," kata Jokowi. Selain itu, Presiden mengatakan untuk melakukan operasi militer pembebasan sandera di wilayah negara lain juga memerlukan izin dari DPR RI.
Presiden menjelaskan pemerintah masih belum meminta izin dari DPR RI untuk melakukan operasi tersebut. Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan pihaknya telah melakukan komunikasi dengan pihak keluarga ABK WNI dan mereka telah mengetahui posisi dan kondisi kesepuluh WNI tersebut.
Kemlu RI menerima informasi pada Senin (28/3) bahwa pembajakan terhadap Kapal Tunda Brahma 12 dan Kapal Tongkang Anand 12 yang berbendera Indonesia terjadi saat dalam perjalanan dari Sungai Puting Kalimantan Selatan menuju Batangas, Filipina Selatan.
Tidak diketahui persis kapan kapal dibajak karena pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016. Saat menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf.