Selasa 05 Apr 2016 11:22 WIB

Negara Diminta Jaga Kesetaraaan Bisnis Taksi

Rep: Budi raharjo/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Puluhan sopir taksi memarkir kendaraan mereka saat melakukan unjukrasa di kantor Dishubkominfo Provinsi NTB di Mataram, Rabu (23/3).
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Puluhan sopir taksi memarkir kendaraan mereka saat melakukan unjukrasa di kantor Dishubkominfo Provinsi NTB di Mataram, Rabu (23/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaingan bisnis jasa transportasi taksi konvensional dengan taksi berbasis aplikasi atau taksi online perlu dilihat dengan cermat. Pengamat ekonomi Yanuar Rizki mengatakan perlunya kesetaraan perlakuan terhadap usaha keduanya.

Taksi konvensional bukannya tidak melakukan inovasi sehingga dinilai tidak efisien. Yanuar menyatakan kalau sekarang ingin meratifikasi fenomena business to business (B2B) seperti dikembangkan perusahaan application service provider (taksi online) yang dianggap inovasi, maka jangan sampai meminggirkan taksi resmi. 

Aturan mainnya yang justru perlu dideregulasi. "Pilihannya adalah regulasi industri transportasi dicabut menjadi industri bebas dan suka-suka atau tetap mempertahankan rezim perizinan," kata Yanuar di Jakarta.

Yanuar tak setuju jika dikatakan penyedia jasa taksi resmi tidak efisien dalam hal tarif. Tarif ditetapkan karena ada regulasi seperti sertifikasi sopir, pul taksi, pemeliharaan, seragam sopoir, basis data sopir, uji layak kendaraan, perpajakan, dan pungutan daerah.

Perusahaan taksi berbasis aplikasi dinilai hanya mengganti salah satu proses, bukan produknya. Dalam proses customer relationship management (CRM) taksi online, pelanggan tak perlu memesan melalui telepon atau menunggu di pinggir jalan. Hal itu dinilai sebagai inovasi di tingkat mikro atau corporate level.

Menurut Yanuar, titik awal antara model taksi aplikasi dan konvensional adalah sama yaitu tunduk pada regulasi yang ada. Mematuhi ketentuan hukum yang berlaku adalah kewajiban dasar di mana dalam hal transportasi telah diatur dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum.

Dengan berbagai kondisi tersebut, Yanuar berpendapat ada dua pilihan bagi perusahaan taksi online. Pertama taksi online bisa menjadi perusahaan transportasi yang berarti mengikuti aturan kementerian perhubungan. Bila ingin menjadi penyedia layanan aplikasi, kedua, maka perizinannya mengikuti aturan kementerian komunikasi. "Tetapi mitra atau armadanya tetap harus mendapat izin dari kementerian perhubungan," ujar dia.

Negara, kata Yanuar, berperan penting untuk menjaga persaingan yang sehat. Ketegasan dan perubahan aturan main serta model bisnis dan tarif yang wajar, ada di tangan pemerintah. Tanpa itu, konflik horizontal sesama sopir akan terus terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement